
![]() |
Cover Buku Spirit Mambesak: Mencari dan Mendudukan Persatuan dalam Semangat Mambesak, Yogyakarta Tahun 2020. |
[Tabloid Daerah], Nabire -- Dalam rangka memperingati 41 tahun kematian Arnold C. Ap, Lingkar Study Papua (LSP) dan Solidaritas Pelajar West Papua (SPWP) menggelar diskusi, dan Bedah Buku Saku, "Spirit Mambesak: Mencari dan Mendudukan Semangat Persatuan ke Dalam Spirit Mambesak". Sebuah buku yang diterbitkan oleh Organisasi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Yogyakarta pada Tahun 2022.
Diskusi yang dihadiri oleh pelajar, mahasiswa dan pemuda itu dimoderatori oleh Natalia Tebai, salah satu mahasiswa Universitas Wiyata Mandala (Uswim) Nabire, berlangsung di halaman Kampus Uswim, tepat di depan Fakultas ilmu Pemerintahan, pada Sabut (26/04), Sore.
Bochi anggota Kolektif LSP memantik diskusi tersebut mengatakan bahwa buku saku tersebut dibagi dalam tiga bagian tematik.
Bagian Pertama buku tersebut, menurut Bochi, isinya menggambarkan bagaimana mambesak lahir, bergerak dari kelompok Musisi gereja, hingga keluar menginternalisasi misik ke dalam “kePapuaan”. Berangkat ke Jakarta hingga Kembali ke Papua dan menyiarkan lagu-lagunya melalui RRI dengan gaya Bahasa yang khas Papua, juga memperkenalkan cerita lucu yang kemudian dikenal dengan Mob Papua.
“Bagian pertama ini tentu mengulas bagaimana Arnold C. AP dan Sam Kapisa bertemu, berdebat, lalu membentuk Grub Musik Mambesak, dan bagaimana Mambesak Berkarya, hingga Arnold C. Ap dibunuh Kopasanda atau sekarang dikenal dengan Komado Pasukan Khusus atau Kopasus di Pantai Base G pada 26 April 1984,” jelas Bochi memantik beda buku dan diskusi tersebut.
Peserta diskusi yang lain, Vincent Tekege dari Green Papua mengatakan bahwa Arnold diberikan akses untuk melarikan diri dari penjara untuk dibunuh.
“Dalam beberapa catatan literasi membahas,” lanjut Tekege, “tentu Kopasus bekerja sama dengan petugas penjara memberikan akses keluar dari penjara dengan mengatakan bahwa anak-istrinya sedang menunggu di suatu titik. Dengan begitu Ia ditembak dengan alasan Arnold C. Ap ditembak mati dalam pelarian diri dari penjara,” terang Tekege.
Bagian kedua dari buku ini, lanjut Bochi, lebih banyak menjelaskan tentang situasi ekonomi politik serta operasi militer Indonesia di Papua saat sebelum dan situasi saat Mambesak lahir dan berkarya.
“Saat itu mambesak hadir seperti membawa angin segar bagi rakyat Papua yang sedang berada dalam tekanan operasi militeristik,” tambah pria asal Yali itu.
Menurutnya, lewat syair dan lagunya memberikan Kesan penting tentang bagaimana memikul luka-luka yang diderita secara Bersama, keluar dari kurungan ketakutan dan mengatakan diri sebagai manusia “Papua”.
“Sebab saat situasi operasi militer tak ada ruang demokrasi di Papua. Dengan begitu bertumbuh-kembangnya organisasi social, aktivitas-aktivitas masyarkat yang kaitannya dengan merefleksikan situasi saat itu, itu tidak berkembang, bahkan tidak ada. Apa lagi kita mau membayangkan Pembangunan organisasi, aksi-aksi massa dalam skala yang besar turun ke jalan, itu tidak ada sama sekali. Lantas Mambesak hadir di saat itu memberikan keyakinan dan membawa semangat kepapuannya,” kata Boci menggambarkan situasi saat itu.
Lantas bagian ke tiga dari buku itu, lanjut Bochi, lebih banyak mengulas tentang spirit dari mambesak. “Bagian ketiga ini, Ia memulai dengan sebuah pertanyaan, itu apa sih yang menjadi spirit mambesak?”
Karya mambesak tentu mencari hamoni untuk kebebasan. Lanjut Bochi, mambesak bukan tentang Arnold C. Ap atau Sam Kapisa. Tetapi semangat mereka adalah keharmonisasian untuk mencari kebebasan.
“Oleh karena itu lah, baik secara kelompok Bersama maupun karya mereka hingga saat ini masih menendang telinga penikmat dan menggerakan menikmat,” jelas Boci tentang semangat mambesak yang diulas dalam bagian ketiga dari buku saku tersebut.
Mambesak tidak dibentuk untuk membesarkan nama Arnold atau Sam saja, lanjut Bochi, melainkan sebagai penggerak yang ptutu diapresiasi. “Rodanya ada pada keseluruhan komunitas yang ada dan terlibat didalam mambesar. Mulai dari kelompok Musisi, tari, tifa, vokalis, bahkan penulis lirik dari setiap suku-suku ke dalam setiap Bahasa daerah.” Terangnya.
Menurutnya, mambesak itu wujud dari semangat itu. Wujud dari roda yang menggerakan persatuan kepapuaan.
“Bukan soal orangnya. Namun, semangat yang menggerakan setiap orang di dalamnya yang hingga saat ini masih terasa pada Musisi maupun penikmat jaman sekarang,” lanjut Bochi menjelaskan.
Bochi menegaskan, bahwa, semangat itu lah yang perlu dicecar hingga menjadi pegangan untuk menumbuhkan sikap keharmonisasian. Baik dalam membentuk kepapuaan, mencari keharmonisasian karya, hingga mencari keharmonisasian hidup.
Kemudian, Walo, salah satu peserta diskusi, yang juga ikut membuat buku saku tersebut menjelaskan bahwa buku saku itu dibuat dalam rangka mencari sesuatu semangat atau kekuatan yang dapat menjaga keseimbangan dan membuat selaras dalam membangun persatuan nasional untuk West Papua.
“Buku saku ini hasil dari evaluasi dan renungan atas sebuah pertanyaan mengapa orang papua Bersatu dan terjadi perpecahan. Tentu penjajahan dan tradisi berbagai organisasi dan pengalaman induvidu dalam berpengetahuan dan berjuang itu menjadi factor lain. Tetapi pebedaan itu ingin memposisikannya sebagai potensi yang dimiliki, dan mesti di satukan.” Terang Walo di sela diskusi.
Lantas, lanjut Walo, persatuan itu tidak harus terlihat sama. Atau menyatuh dibawa satu titik yang menjadi porosnya. Tetapi keharmonisasian mambesak tentu mesti memantik semua melihat semua elemen Gerakan yang menginginkan sebuah kehidupan yang lebih baik sebagai hasil karya dan potensi yang dimiliki oleh orang Papua.
“Kalau kita berangkat dari spirit mambesak diatas, perpecahan dan faktornya ini ibarat sebuah gitar yang tali senarnya ada yang kendor. Ini mesti di setel, diperbaiki, agar 6 sinar yang bunyinya berbeda-beda ini bila dimainkan bersamaan, ia akan menghasilakan bunyi yang enak di dengar. Itu yang disebut keharmonisasian mambesak. Lantas tidak ada yang mendominasi, tidak ada yang tinggi-rendah, atau ukurannya siapa yang lebih besar atau kecil, semua sama, memainkan peranan pada masing potensi untuk satu tujuan yang sama.” Tutup Walo.(*)
Yohanes Gobai