
![]() |
Emanuel Gobay, S.H., MH, direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH)Papua. |
[Tabloid Daerah], Nabire -- Rabu (23/04), malam, cuaca Nabire masih terasa hangat, walau waktu sedang menuju pukul dua belas. Di Enauto Kafe yang berlokasi di samping jalan PDAM, Bukit Meriam, beberapa pria masih duduk di sana sambil menyudahi kopi Moane, Kopi P5, hasil produksi petani kopi di Lembah hijau Dogiai.
Tampak Emanuel Gobay, S.H., MH, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua atau biasanya disapa Edo sedang memantik pembicaraan.
Edo dan beberapa kawan singga ngopi sebentar usai menghadiri sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Pengalidan Negeri (PN) Nabire. Sidang tentang kasus jual beli amunisi, dan tentu Edo juga yang menjadi Penasehat Hukum terdakwa Okto Jemy M. Yogi.
Perihal persidangan itu yang menjadi pembicaraan mereka.
Kata Edo, Sidang dengan agendanya pemeriksaan saksi ahli Cyber dan Balistik telah digelar pada Selasa, (22/04) sore, tetapi Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak juga menghadirkan saksi ahli yang dimaksud.
“Sebenarnya sudah diberikan waktu 3 minggu. Tetapi Jaksa tidak mampu juga menghadirkan saksi ahli. Sidang agenda ini saja sudah pernah sekali tunda setelah diberikan waktu 2 minggu oleh Hakim. Lalu dimbah satu minggu lagi, tetapi tetap saja tidak Jaksa tidak mampu hadirkan Saksi Ahli.” Kata Edo menjelaskan situasi beberapa kali tertunda sidang di agenda yang sama.
Menurut Edo, ini salah satu bukti mengap JPU di Nabire itu sangat lemah dalam beberapa hal. Termasuk tidak konsisten dan ketelitian Jaksa dalam memeriksa bukti-bukti yang menjadi syarat terdakwa di dakwa.
“Masa, pembeli dan penjual di tangkap, tetapi pemiliknya tidak ditangkap? Itu kan Jaksa tidak memperhatikan hal itu dan berikan catatan kepada para penyidik untuk melengkapinya mulai dari hulu hingga hilir.” Lanjut Gobai tentang kasus jual beli senjata yang pemilik dan produknya tidak dihadirkan/dibuktikan di PN Nabire.
Penasehat Hukum melihat, lanjut Gobai, bahwa amunisi itu tidak begitu saja ada. Dari barang bukti yang sudah ada, tentu itu diproduksi dari pabrik, dan sudah pasti bukan diproduksi oleh si penjual yang tinggalnya di Nabire itu. Pertanyaannya siapa yang memproduksi? Darimana? Lalu siapa yang mengeluarkan amunisi itu dari pabriknya? Siapa yang membawa barang itu ke Papua, sampai di Biak? Lalu siapa yang antar barang itu ke Nabire? Ini semua seling keterkaitan.
“Semua ini, walau pun tidak kerja sama, tetapi saling keterkaitan. Maka harus diperiksa semua. Tidak hanya si penjual dan pembelinya saja,” Tegas Gobai.
Lanjut Gobai, Ini pertanyaan tergas kepada Jaksa Penuntut Umum pada saat berkas pertama kali berkas di limpahkan dari penyidik, kenapa tidak penyidik melengkapi keterangan mulai dari Dimana asal-usul pabrik pembuatan Amunisi itu?
“Kalau bisa panggil pemilik pabrik itu dan periksa legal produksi dan pengawasan memproduksi aluisista oleh peraturan, dan siapa saja yang membeli amunisi dari pabriknya selama kurung waktu tertentu.” Kata Gobai mempertanyakan mengapa penyidik tidak memastikan asal-usul amunisi tersebut.
Kemudian, Lanjut Gobai, Polisi juga harus cari tahu siapa yang membawa keluar amunisi dari pabarik, lalu bisa sampai di Biak, Papua.
“Oke, si penjual itu sudah ditangkap. Tetapi kenapa yang bawa dari Biak ke Nabire tidak ditangkap, dan yang lainnya?” kata Gobai mempertanyakan kerja penyelidikan Polisi dalam kasus jual beli amunisi yang sedang ditangani Gobai.
Menurut Gobai, kalau ini tidak diperiksa semua maka kliennya yang akan berdampak.
“ini Klien kami yang akan korban hanya karena membayar amunisi itu dengan uang 3.500 ribu dan sebesar 13 juta belum terbayar. Sementara para pemilik pabrik dan pemilik amunisinnya serta lainnya mereka tidak ditangkap dan sedang berkeliaran di luar sana,” jelas Gobai.
Penasehat Hukum Emanuel Gobay, S.H., MH, juga menilai proses penyelidikan dan persidangan ini bahwa Okto Jemy M. Yogi adalah korban kriminalisasi untuk melindungi sindikat perdagangan Amunisi di Papua.
“Kami bisa berkesimpulan begitu karena selain kasusnya Okto Jemy M. Yogi, ada dua kasus yang sama juga kami tangani di PN Nabire ini. Dan itu dari sumber yang sama,” Jelas Gobai.
Saat sidang agenda pemeriksaan terdakwa pada Rabu (23/04) sore, terdawa mengaku Ia melakukan komunikasi dengan penjual hingga terjadi transaksi.
“Ya, memang saya yang lakukan dan benar saya belum membayar 13 juta. Karena itu barang itu [sepenuhnya] bukan milik saya,” katanya saat sidang berlangsung di PN Nabire, Sore.
Amunisi sebanyak 104 butir dengan harga 20 juta itu, Lanjut Gobai, kliennya baru membayar 3.500 ribu di awal dan akan membayar nanti. Kesepakatan ini dibuat secara lisan dan penjual juga sepakat lalu memberikan amunisi itu kepada klien kami.
"Tetapi, sebagai penasehat hukum, di ruang sidang kami bertanya apa alasan atau dasar Penjual dapat mempercayai klien kami bahwa dengan hanya dibayar 3.500 ribu penjual penuh percaya dan berani memberikan barang itu? Sementara pemiliknya bukan si penjual itu dan pemiliknya di sedang berada di Biak? Tetapi sih penjual itu memilih untuk tidak menjawabnya.” Jelas Gobai.
Lantas dengan belum terlunasi pembayarannya, menurut PH, terdakwa bersaksi bahwa amunisi itu belum sepenuhnya milik terdakwa karena belum dilulasi.(#YoGo/tadahnews.com)
Yohanes Gobai