Iklan

iklan

Pernyataan Sikap FIM- WP Memperingati 58 Tahun Keberadaan Freeport di Tanah Papua

Yohanes Gobay
4.07.2025 | 3:16:00 PM WIB Last Updated 2025-04-07T08:16:22Z
iklan
Logo Organisasi Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM)


[Tabloid Daerah], Nabire -- Berikut pernyataan sikap aksi penolakan keberadaan PT. FI di Tanah Papua selama 58 Tahun. Pernyataan sikap ini dikeluarkan oleh Komite Pusat Organisasi Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM WP), tertanggal 7 April 2025. 



KOMITE PIMPINAN PUSAT

FORUM IDEPENDEN MAHASISWA WEST PAPUA

(FIM-WP)

 

Pernyatan Sikap


Sejak berdirinya Bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945, kontroversi mengenai masa depan Papua (dalam Bingkai NKRI) diperdebatkan oleh para pendiri Negara Indonesia. Namun keinginan dalam mendominasi Sumber Daya Alam Papua, maka Papua tegas dipertahankan. Di samping itu, secara de facto Papua yang merupakan bagian dari kekuasaan Belanda, sejak dimanifestokan pada tahun 1828, tetap dipertahankan oleh Belanda sekaligus mempersiapkan kemerdekaan Papua pada tahun 1961. Melihat sikap Belanda tersebut, Indonesia kemudian memainkan peran Non-Blok, dengan mencari bantuan peralatan militer dari negara komunis Soviet dan China yang berpuncak pada operasi Mandala, pada 19 Desember 1961, yang dikenal dengan Trikora alias Tiga Komando Rakyat: 1) Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda, 2) Kibarkan Sang Merah-Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia, dan 3) Bersiaplah dimobilisasi guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa; untuk mengusir Belanda. Tindakan Indonesia tersebut guna mencuri simpati sekaligus ketakutan Amerika guna membujuk sekutunya Belanda agar keluar dari Tanah Papua. Melihat situasi tersebut, Amerika lalu memainkan peran diplomatiknya, dengan mempertemukan Indonesia dan Belanda (tanpa Papua), untuk menentukan nasib masa depan Papua, lewat perundingan New York Agreement, dan Roma Agreement pada tahun 1962. Hasil perundingan tersebut menyebabkan Belanda secara perlahan meninggal Papua dan menyerahkan Papua ke Indonesia pada 1 Mei 1963.


Namun pasca keluarnya Belanda, Indonesia mengangkat Soekarno sebagai Presiden seumur hidup Indonesia, dengan kekuatan Partai Komunis Indonesia(PKI). Sikap Indonesia tersebut, mendorong Sekutu melancarkan agenda Central Intelligent Amerika(CIA) G30S/PKI, yang menyebabkan terbunuhnya 7 Jenderal dengan tuduhan PKI (Soekarno) dibalik serangan tersebut. Hal itu kemudian memaksa Soekarno menyerahkan kekuasaannya kepada Soeharto lewat Surat Perintah 11 Maret 1966. Selanjutnya, tiga pekan setelah Soeharto menjabat presiden Indonesia, tepatnya 7 April 1967 Indonesia lalu melakukan Kontrak Karya (KK) I Penambangan Mineral dan Logam di Papua sebelum diadakan Penentuan Nasib Sendiri pada tahun 1969, Kontrak Karya 1 PT. Freeport Indonesia INC ini berlaku selama 30 Tahun sejak mulai beroperasi, tahun 1973. Dan dicurigai sebagai bentuk terima kasih kepada Amerika.


Langkah selanjutnya di persiapkanlah Rekayasa Act Free Choice (PEPERA) 1969, yang dihadiri oleh 1025 orang di Papua pada bulan juli – agustus 1969. Setelah itu berlakulah resolusi 2504 “pembangunan di Papua” dalam bayang-bayang 32 Tahun Otoriter Soeharto. Selama masa pemerintahannya Papua dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM), yang menyebabkan tingginya Pelanggaran HAM dan mulusnya Kapitalisme di Papua. Semua kerja Soeharto terhenti ketika diturunkan secara tidak hormat pada 21 Mei 1998 oleh kekuatan Rakyat, akibat ketidakpuasan rakyat Indonesia.


Reformasi pun bergulir di Indonesia menggantikan pola sentralistik orde baru, dan masalah Politik “Merdeka” Papua kembali mencuat oleh dorongan TIM 100 yang menyampaikan aspirasi merdeka kepada presiden Transisi Indonesia B. J. Habibie. Namun untuk mencegah konflik berkepanjangan di Papua mendorong Intelektual Papua (Akademisi dan LSM) menyusun rancangan Otonomi Khusus bagi Papua, yang dianggap sebagai solusi masalah Papua. Akhirnya, Otonomi Khusus berlaku di Tanah Papua dan sekaligus mempertahankan status quo Indonesia di Papua serta Otonomi Khusus dalih Indonesia untuk memberikan Citra baik Indonesia terhadap dunia internasional, dan sekaligus “mencuci tangan” terhadap kasus kejahatan kemanusiaan selama 32 Tahun pemerintahan Soeharto.


Lebih lanjut, selama 50 Tahun penguasaan Sumber Daya Alam Nemangkawi PT. Freeport, tak ada satupun keuntungan yang berhasil memberikan dampak yang signifikan bagi rakyat Papua sebagai pemilik negeri sekaligus bumi Amungsa. Disamping kenyataan yang hari ini menyengsarakan rakyat Papua di Bumi Amungsa, yakni dihasilkannya Limbah, rusaknya hutan menjadi lahan tambang dan merusak tatanan sosial masyarakat Amungsa, hingga berujung pemusnahan sistematis akibat mengkonsumsi makanan yang telah terkontaminasi limbah beracun.


Selanjutnya 58 Tahun Freeport beroperasi (hingga saat ini 2025)  kekayaan rakyat Papua ini telah dieksploitasi hingga mencapai 1,7 miliar ton, dari total 3,8 miliar ton sejak Kontrak Karya II tahun 1991, dengan persentase 165 biji ton per hari, disamping itu Freeport berhasil meraup  keuntungan sebesar 116 Miliar per hari. Selain itu, selama berjalannya Kontrak Karya Freeport, demi stabilitas kapitalis besar ini, Pemerintah Indonesia dijadikan tameng dalam melindung segenap kepentingan dan kedaulatan Freeport atas tanah Papua. TNI/POLRI Indonesia yang dijadikan “anjing penjaga” dalam melindungi dan mengusir setiap mengganggu dan mengancam stabilitas Freeport di Tanah Papua. Maka tak heran, sisi kemanusiaan diabaikan demi memuluskan kepentingan investasi Freeport .


Selanjutnya, dengan mengabaikan hak kesulungan rakyat bangsa Papua, yang menuntut dikembalikannya kedaulatan atas Freeport yang telah direkayasa sejak aneksasi Bangsa Papua, 1 Mei 1963 hingga plebisit PEPERA tahun 1969. Freeport dan Indonesia kembali mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2017 tentang perubahan keempat atas PP No. 23/2010 tentang pelaksanaan  Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, atau UU Minerba, dengan Divestasi 51 persen saham, dan mengubah kontrak karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Namun drama tetap dibuat, antara Freeport dan Indonesia atas bumi Amungsa dengan tetap mengabaikan, hak rakyat Papua sebagai ahli waris.


Sehingga apapun yang terjadi di tanah Nemangkawi, Tembagapura, Freeport. Maka kami mahasiswa pemuda dan rakyat, yang tergabung dalam Aksi Forum Independen mahasiswa West Papua, menyatakan bahwa untuk mencegah konflik kemanusiaan yang berkepanjangan, maka kami:


  1. Tutup Freeport, dan kembalikan hak kedaulatan rakyat Amungsa demi mencegah konflik kemanusiaan yang berkepanjangan di Tanah Papua
  2. Hentikan Operasi militer dan Tarik Militer Organik dan Non Organik di seluruh Tanah Papua
  3. Hentikan Proyek Strategi Nasional (PSN) di Merauke
  4. Tutup Segala perusahan ilegal di seluruh tanah air west Papua
  5. Hentikan revisi RUU TNI yang justru merusak citra demokrasi dan penegakan Hukum
  6. Berikan Hak Penentuan Nasib sendiri sebagai solusi demokratik

 

Itu merupakan pernyataan sikap, yang mana FIM-WP akan memberikannya kepada DPRP Papua Tengah.(*)



Yohanes Gobai


Baca Juga
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pernyataan Sikap FIM- WP Memperingati 58 Tahun Keberadaan Freeport di Tanah Papua
iklan
iklan
iklan
iklan
iklan

Trending Now

Iklan

iklan