Iklan

iklan

Perjuangan Seorang Boca Mencari Ayah, kehidupan, dan Masa Depan

Yohanes Gobay
3.11.2025 | 5:45:00 PM WIB Last Updated 2025-03-11T10:58:22Z
iklan
ilustrasi gambar


Cerpen: Jhon Gobai )*

Berita tentang akan digelar pesta yuwo tersebar dimana-mana di seantero Paniai. Setiap orang membicarakan isu tentang itu. Tentu keheboan dan ramainya buah bibir serupa dengan situasi hari ini bagaimana masyarakat Papua menjadikan pembahasan hari-hari tentang kapan pemilu akan berlangsung, siapa saja kandidatnya beserta pengaruh dan kekayaannya.

Yuwo merupakan pesta, sekaligus pasar, terjadi transaksi perdagangan hasil pertanian dan terutama hasil ternak sendiri oleh masyarakat sendiri. Pesta Yuwo ini turun-temurun dilakukan oleh suku Mee, suku yang mendiami di pegunungan Papua sejak sebelum pemerintahan Belanda, Kini Pemerintahan Indonesia membagi tiga Kabupaten: Dogiai, Deiyai, dan Paniai. Menurut beberapa penelitian Belanda mendefinisikan system pasar ini dengan istilah “kapital tradisional”. Sebab sisi lainnya dilihat dari alat tukar berupa “Mege” kerang bia. Kulit bia didapatkan di sepanjang sesisir pantai dengan melakukan jalan kaki sepanjang berkilo dari pegunungan ke pantai, saat itu—situasi saat belum ada akses jalan dan transportasi modern, dan alat tukar berupa kertas: uang.

Wudebii, lelaki yang dijuluki “Tonawi”, penyelenggara acara Yuwo di kampung Papato. Tonawi, itu sebutan penghargaan bagi mereka yang memiliki banyak ternak, “Mege” Kulit Bia (alat tukar= Uang), juga mempunyai luas pertanian yang menghasilkan. Tonawi tidak hanya ukur dari sisi itu saja. Ada tonawi yang pandai berbicara, mempunyai kemampuan memecahkan masalah. Juga punya istri banyak. Dan sesuatu yang melekat pada Tonawi adalah kasih dan berbagi penuh cinta kepada siapa pun yang tak punya.

Wudebii bukan pria yang mempunyai banyak istri dan pandai bicara. Tetapi mempunyai segala kekayaan yang dikecualiakan di atas. Adiknya, Yatituma membantu mengurusi ratusan ternak milik Wudebii.

Berita tentang pesta Yuwo dan sosok Tonawi penyelenggara mulai tersebar di bagian Agadide.
Seorang boca laki-laki berusia 7 tahun segera menyiapkan panah dan bekal secukupnya.

“Saya harus pergi mencari ayah di sana,” gumamnya.

Tanpa memberitahu Ibunya, Nawipaumau, perempuan asal Agapo, Ia pergi dengan menyelinap di tengah barisan rombongan dari Agapo ke Papato, Paniai Timur.

Wiyai. Lelaki pendiam, dingin, kedewasaannya sudah terlihat sejak usia itu. Nama Wiyai, terinspirasi dari burung yang lankah nan cerdas, pandai merangkai tempat dansa hewan, dan tentu cantik warna bulu serta suaranya. Terkadang Ia sering merekam dan mengulang suara apa saja yang Ia dengar. Burung yang langka ini sudah mulai punah di Paniai.

Para rombongan istirahat di kampung Geko, kampung yang dekat dengan Ibu Kota Paniai, Enagotadi. Masing-masing mengeluarkan bekal makanan. Wiyai duduk terpisah dari semua orang, segera meletakan panah dan busurnya, lalu mengeluarkan satu buah ubi masak dari dalam noken.

Situasi itu mengundang keprihatinan dari seorang pria berusia bapak-bapak.

“Anak, kamu datang dengan siapa?”

Wiyai hanya diam saja sambil sesekali mengunya makanan di mulut.

“Dimana orang tuamu?” Bapak itu lanjut bertanya.

“Saya mau pergi cari ayah Saya di Papato.”

Jawaban dari boca itu membuat bapak itu tak lagi bertanya dan membagi bekal air minumnya. Tentu Ia menyadari bahwa Wiyai pergi seorang diri.

Ibunya, Nawipa oumau, sering bercerita bahwa bapaknya marga Gobai dari kampung Papato. Menceritakan latar belakang ayahnya yang berasal dari keturunan Tonawi itu dan alasan mengapa Wiyai dan ibunya tinggal di Agaapo.

Wiyai ingat itu semua bertahun-tahun dan di usia 7 tahun ini Ia memutuskan untuk pergi mencari ayahnya. Motivasi itu diperkuat dengan tempat diselenggarakan pesta Yuwo di kampung Papato. Ia ingat betul dari cerita ibunya bahwa ayahnya ada di sana. Bahkan Nama Tonawi Wudeiwo tidak asing di telinganya.

Karena keyakinan dan ingin ketemu ayahnya Ia memutuskan untuk pergi ke sana tanpa mempertimbangkan jarak dan resiko yang membahayakan dirinya. Bahkan tanpa memberitahu Ibunya.

Sore itu Nawipaumau tiba di rumah dengan noken penuh hasil tani. Rumah tampak kosong, Wiyai tak ada di sana. Ia mencari sekeliling rumah, kompleks rumah warga, rumah teman, keluarga dekat, juga tak kunjung nemu.

“Anak kecil yang pendek, badan agak besar itu tadi ada di tengah barisan orang-orang yang pergi ikut Yuwo di Kampung Papato.” Kata beberapa orang yang datang dari arah Wegamo.

Kalimat itu menyadarkan Nawipaumau, sontak terduduk diam. Dalam lamunannya hanya doa keselamatan dalam perjalanan yang terucap untuk anak semata wayangnya, Wiyai. Ia mengiklaskan keputusan Wiyai untuk mencari ayahnya dan hanya harapan keselamatan dan bertemu ayahnya selalu menyelimuti tidurnya malam.

Wiyai tak mengenali sosok dan wajah ayahnya. Ia berpisah sejak masih 7 bulan di dalam kandungan ibunya, Nawipaumau. Tetapi Wiyai selalu diperkaya tentang ayahnya dan nama kampungnya di setiap ceritera sebelum tidur. Wiyai menyimpannya dalam ingatan.

Rombongonan dari Agadide tiba di kamp Yuwo tiba tepat hari sebelum gelap. Wiyai mengambil tempat di pojok, duduk diam dan memiringkan tubuh di kayu penyangga camp, membiarkan tubuhnya stahat sejenak. Dua hari perjalanan tentu menguras tenaga dan kecapean.

“Rombongan dari Agadide sudah tiba. Bawa makanan untuk mereka,” teriak seorang pria kepada penanggungjawab acara.

Beberapa saat kemudian sejumlah pemuda berpakaian koteka datang ke kamp mereka dan membagi makanan: ubi, sayur, daging babi, dst. Semua dimasak secara tradisional, “Duwayoota” barapen.

Setiap orang yang ada di dalam kamp kebagian makanan kecuali Wiyai. Makanan habis saat di gilirannya.

“Adik, bisakah kamu bergabung dengan orang tuamu untuk makan?” Tanya seorang pria berbadan kekar nan tinggi kepada Wiyai.

Tentu Wiyai diam saja.

Seorang bapak dari sudut lain angkat bicara dengan nada kepedulian, “Anak ini datang sendiri. Dia ikut kami dari Agapo. Katanya mau mencari ayahnya di kampung ini.”

Pemuda itu memperbaiki posisi duduk dan bertanya lagi kepada Wiyai.

“Siapa nama ayahmu?”

“Saya marga Gobai. Saya tidak tahu nama ayah saya, dan tidak pernah ketemu.” Jawab Wiyai, kepalanya masih nunduk, entah apa yang Ia perhatikan di titik tumit kakinya.

“lalu siapa ibu kamu?"

“Nama mama saya Nawipa Oumau. Mama sering mengatakan bahwa nama Ayah saya itu Wudebii,” Wiyai menjelaskan agak Panjang dengan nada yang terbata-bata.

Kata-kata ini sontak membuat pria kekar nan tinggi didepannya berdiri dan berlari ke arah kamp utama.

Tak lama kemudian, lelaki tadi Kembali bersama pria lain berusia bapak-bapak.

“Yang mana?” Tanya bapak itu dengan tenang.

“Anak yang di pojok sana itu.” Jawab pria tadi menunjuk ke arah Wiyai.

Bapak itu pergi mendekati anak itu, duduk menyeimbangi posisi dengan Wiyai lalu memperhatikan wajahnya, menatapnya lama tanpa bicara. Sesekali Ia menyentuh hidungnya. Wiyai memberanikan diri menatap pria asing di depannya. Tatapan itu memberikan percikan energi, membikin air mata jatuh mengalir membasahi pipi bapak itu.

Wiyai hanya memperhatikan dengan tatapan kosong tingka bapak itu tanpa bicara.

Ia itu menarik tubuh Wiyai dalam pelukannya penuh cinta, tangisan haru pun pecah menggema satu camp itu.

Wudebii menemukan anaknya yang sudah lama pergi sejak masih di dalam kandungan ibunya, 7 tahun yang lalu. Entah apa yang terjadi, seperti sebuah harapan pupus telah pulih Kembali. Bagaimana situasi ini merangkai dengan kata dan menggambarkan bagaimana Wudebii dan Wiyai bertemu, pertemuan ayah dan anak yang tak pernah bertemu dan tak saling kenal. Satu sisi Wiyai hanya mengenali ayahnya melalui cerita dan sisi Wudebii menyimpan kesedihan dan harapan Nasib untuk anaknya yang mungkin tak akan mengenalinya.

“Bunuh babi 1 ekor, masak. Anak ini belum makan.”

Perintah Wudebii kepada beberapa pemuda seraya menggendong Wiyai pergi ke kamp utama, kamp milik penyelenggara pesta. Kam pribadi Tonawi wudeiwo, ayah dari Wiyai.
***

“Kamu sudah beritahu ibumu?” Tanya Wudebii kepada Wiyai.

“Mama pasti sudah ketahui keberadaan saya dari orang-orang yang kemarin datang ikut Yuwo.”

Wiyai memilih tinggal di Papato. Keputusan itu bukan hanya karena kekayaan dan kenyamanan hidup bersama ayahnya. Tetapi Ia ingin sekolah. Ibunya setuju dan sering mengunjungi Wiyai di kampung Papato sekali dalam setiap sebulan.

Tahun itu juga Ia mendaftarkan diri di SD YPPK Timida. Wiyai pergi merantau ke Nabire setelah lulus dan melanjutkan Pendidikan tingkat Menengah keatas di Nabire hingga mendapatkan pekerjaan, berumah tangga di Nabire.

Tak pernah pulang ke kampung, selain liburan.
***

“Gobaumau…!”

“Ya! Saya sedang mendengarkan, bapa,” saut Gobai oumau, anak perempuan pertama dari Wiyai. Gobai oumau duduk di ujung tempat duduk pasien (bench). Wiyai terbaring di sakit di RSUD Sriwini di usia ke 60 tahun.

“Dari semua perjalanan ini, hanya satu hal yang belum saya lakukan dan membalas kebaikan orang, itu hanya kepada mama Nawipa,” lanjut Wiyai, seraya menyeka air mata kering di sudut matanya.

Gobai oumau hanya duduk mendengarkan saja. Kadang terbawa sedih dalam cerita perjalanan Wiyai.

“Orang marah, itu jangan kamu benci. Ampuni. Bila ada anak yatim, janda, orang tak punya, harus perhatikan mereka. Kalau ada berkat lebih, harus berbagi kepada mereka. Harus lihat mereka.”

“io, bapa, sa dengar.” Jawab Gobai Oumau, sambil menyekah air mata di pipinya diam-diam.

“Ingat itu, anak.”

Kata-kata itu menjadi pesan terakhir Bapak Wiyai Kepada anaknya, Gobai oumau di RSUD Sriwini, Nabire, 8 tahun yang lalu.

Rumah Bandara, 3/3/2025.



Penulis adalah Wartawan Media Tabloid Daerah, tadahnews.com
Facebook
Facebook
Facebook
Facebook
Facebook
Facebook
Baca Juga
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Perjuangan Seorang Boca Mencari Ayah, kehidupan, dan Masa Depan
iklan
iklan
iklan
iklan
iklan

Trending Now

Iklan

iklan