Iklan

iklan

KNPB Wilayah Teluk Nabire Kecam 'Roma Agreement' 30 September 1962, Ini 4 Poin Pernyataan Sikap

Melkianus Dogopia
9.30.2024 | 10:00:00 PM WIB Last Updated 2024-10-03T19:11:24Z
iklan
KNPB Wilayah Teluk Nabire Kecam 'Roma Agreement' 30 September 1962 - (Foto Milik KNPB Teluk Nabire)

[Tabloid Daerah], Nabire --
Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Wilayah Teluk Nabire memperingati 62 Tahun Perjanjian Roma, yang adalah perjanjian ilegal dilakukan pada tanggal 30 September 1962 di Roma setelah melakukan Perjanjian New York, 15 Agustus 1962, di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang mana kedua perjanjian ini tidak melibatkan rakyat Papua, dan dilakukan agar Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Tahun 1969 dimenangkan atas nama Indonesia.

Hal ini dikatakan oleh Biro Diplomasi KNPB Teluk Nabire, Mago, dalam Keterangan Pers kepada media ini, "kami KNPB Teluk Nabire, jelas! Hari ini, memperingati 62 Tahun Perjanjian Ilegal yang dilakukan di Roma pada tanggal, 30 September 1962 silam, dan termasuk Perjanjian Ilegal yang dilakukan di New York, Markas Besar PBB pada tanggal, 15 Agustus 1962. Bahwa perjanjian itu ilegal tidak melibatkan rakyat Papua satu pun dan dilakukan perjanjian-perjanjian tersebut agar Pepera 1969 dimenangkan atas nama Indonesia," ujar Mago dalam pembukaan Jumpa Pers dikutip media ini, Senin (30/9/2024).

Diprakarsai oleh Amerika Serikat, lanjut Mago mengungkapkan bahwa perjanjian tersebut direkayasa Amerika Serikat agar Pepera 1969 harus dimenangkan oleh Indonesia dan ini demi kepentingan Ekonomi-Politik di Tanah Papua.

"Amerika Serikat [New York] merupakan perjanjian yang sangat kontroversial di dalamnya ada 29 Pasal yang mengatur tentang tiga macam hal, seperti; Pasal 14 - 21 itu mengatur tentang Hak Menentukan Nasib Sendiri [Self-Determination] yang didasarkan pada praktek Internasional. Yaitu: Satu Orang Satu Suara [One Man One Vote] tapi, tidak terjadi demikian. Dan, Pasal 12 dan 13 yang mengatur tentang Transfer Administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB [UNTEA] kepada Indonesia," ungkap Mago.

Pesan Mago kepada rakyat atas rekayasa sejarah dan penuh manupulatif ini yang dilakukan oleh negara [Kolonial] Indonesia bahwa penjajah tetap penjajah, dia tidak akan pernah berubah wujudnya dari Trikora yang dikumandangkan oleh Sukarno di Alun-alun Utara, Kota Yogyakarta, pada 19 Desember 1961 hingga saat ini negara terus berusaha meredam isu Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) termasuk Papua Merdeka.

"Kawan-kawan aktivis HAM, Lingkungan, pro Referendum, dan atau yang sudah gabung dalam gerakan rakyat melawan Kolonialisme, Kapitalisme, dan Militerisme ini, sudah saatnya menjadi guru untuk rakyat Papua. Dampak yang kita rasakan, apa yang kita dengar, kita lihat, dan atau yang kita baca, itulah yang menjadi materi untuk saling memberikan pemahaman, penyadaran kepada rakyat yang belum sadar sampai dengan hari ini. Karena, kita sudah harus terdidik, dan sadar dalam perlawan kepada sistem yang menindas rakyat hari ini menuju Pembebasan Nasional Papua Barat," pesan Diplomasi KNPB Wilayah Teluk Nabire.

Semua sektor, simpatisan, dan rakyat Papua yang tergabung dalam peringatan 62 Tahun Perjanjian Ilegal itu bersama-sama menyatakan sikap yang diwakili oleh ketua salah satu sektor, Shon Adii.

Menurut KNPB, atas dasar sejarah Papua yang direkayasa dan dimanipulatif, Shon Adii menyampaikan Tanah Papua telah melahirkan banyak sekali rakyat Papua yang terdidik, gelar dari Doktor, Profesor, Guru Besar, dan banyak Sarjana-sarjana Magister juga Strata satu, telah banyak. Jauh sebelumnya juga, orang-orang Papua telah dididik melalui Pemerintahan Penjajahan Belanda melalui administrasi pemerintahnya di Mandala "New Guinea Raad", dan itu berbeda dengan penjajahan Belanda atas Indonesia di Batavia (Hindia-Belanda), "dua metode penjajahan ini beda, kalau Indonesia polanya kerajaan-kerajaan. Kalau Papua polanya mempersiapkan dan menuju negara sendiri," pungkas Perwakilan Sektor, Simpatisan, dan Rakyat Papua yang hadir mengiktui peringatan 62 Tahun perjanjan Ilegal itu.

"Kami Bangsa Papua juga memiliki potensi untuk mengatur diri kami dan berhak menjadi sebuah negara di atas Tanah Air kami [West Papua]," lanjut Shon sebagai Poin Pertama Pernyataan Sikap.

KNPB Wilayah Teluk Nabire juga menyampaikan sikap keras kepada Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Yahukimo atas anggotanya yang telah menembak mati Tobias Silak warga sipil yang sedang bekerja sebagai Staf Bawaslu Kabupaten Yahukimo pada tanggal 20 Agustus 2024 lalu.

"Kapolres Yahukimo segera! Copot dan adili pelaku penembakan Tobias Silak pada Hari Senin, 20 Agustus 20214 di Yahukimo. Jika, Kapolres Yahukimo tidak mengindahkan tuntutan Keluarga Almarhum maka Kapolres Yahukimo gagal dalam pengamanan dan pengayoman masyarakat sesuai undang-undang," baca Shon Poin Kedua Pernyataan Sikap.

Shon Adii dalam pembacaan pernyataan sikap, pihaknya menyampaikan Tanah Adat di Merauke, atau sebagian besar Wilayah Adat Animha telah hidup sejak lama, turun-temurun, tanpa padi, gula, minyak sawit, bioetanol, dan kepentingan investasi lainnya. Eksistensi Masyarakat Adat ada di Tanah Adat yang telah hidup bersama Sagu, Ikan, Unggas, dan Binatang Buruan lainnya. Yang mana, itu juga kerap menjadi komoditas Masyarakat Adat agar terpenuhi biaya pendidikan, kesehatan, juga kebutuhan lainnya.

"Hentikan Proyek Strategis Nasional yang merampas ruang hidup Masyarakat Adat Kwipalo, Gebse, dan Moiwen di Merauke. Kehadiran padi, gula, minyak sawit, bioetanol, dan kepentingan investasi lainnya, itu tidak akan mengsejahterakan masyarakat setempat. Malah, justru itu membuat sengsara dan malapetaka di atas Tanah Adat mereka," tegas Shon dalam Poin Ketiga Pernyataan Sikap.

Di Poin Terakhir, Poin Keempat, KNPB Wilayah Teluk Nabire mengecam tindakan represif aparat Kepolisian Resor (Polres) Nabire yang mana membungkam ruang demokrasi bagi pengunjuk rasa yang membawa aspirasi rakyat. Setiap aksi-aksi demonstrasi (Demo) damai menyampaikan pendapat di muka umum, yang dilindungi oleh Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UUD 1945 dan UU No 9 th 1998, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 (Indonesia sudah meratifikasi ICCPR melalui Lembar Negara RI Tahun 2005 Nomor 119, TLN RI Nomor 4558) berdasarkan International Covenant on Civil and Political Rights atau biasa disingkat dengan ICCPR bertujuan untuk mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam DUHAM, ini pun diabaikan aparat keamanan Polres Nabire.

"Kapolres Stop! Membungkam ruang demokrasi rakyat bagi para pengunjuk rasa di Nabire, Papua Tengah, dan jangan mengabaikan Peraturan perundang-undangan menyampaikan pendapat dimuka umum, dan Hak Asasi Manusia, yang berlaku di Indonesia tapi juga di Internasional," tutup Shon dalam Poin Pernyataan terakhir.(#MelkyD/tadahnews.com)




Melkianus Dogopia
Baca Juga
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • KNPB Wilayah Teluk Nabire Kecam 'Roma Agreement' 30 September 1962, Ini 4 Poin Pernyataan Sikap

P O P U L E R

Trending Now

Iklan

iklan