Wartawan Melkianus Dogopia, Pemimpin Umum Media Tabloid Daerah (Papua Media Tadah), juga sebagai Kordinator Wilayah Papua Tengah Asosiasi Wartawan Papua (AWP), (Dok.Redaksi) |
[Tabloid Daerah], Nabire -- Nama Saya Melkianus Dogopia, Wartawan tadahnews.com dan juga sebagai Pemimpin Umum di Media Tabloid Daerah, juga sebagai Kordinator Wilayah (Korwil) Papua Tengah Asosiasi Wartawan Papua (AWP). Saya menuliskan kronologi pelarangan peliputan aksi demonstrasi (demo) damai, Jumat (5/4/2024), dan berharap Kepala Kepolisisan Resort Nabire (Kapolres) harus bertindak tegas terhadap anggotanya di lapangan yang melarang kami sebagai wartawan.
Pukul, 08.20 Waktu Papua (WP), saya keluar dari rumah.
Pukul, 09.00 WP, saya tiba di Titik Kumpul Pasar Karang. Situasi dalam pantauan saya, Kordinator Lapangan (Korlap) melakukan orasi dan sambil menunggu massa yang lainnya, yang sedang berdatangan ke Titik Kumpul tersebut.
Setelah itu, saya bergerak lagi ke Titik Kumpul Kampus USWIM.
Pukul, 09.30 WP, saya tiba di Titik Kumpul Kampus USWIM. Dan, di sana saya melihat para mahasiswa dan massa lainnya sedang memasang tali komando.
Pukul, 09.50 WP, saya bergerak ke Titik Kumpul Siriwini. Di Siriwini, sekitar belasan massa aksi diangkut ke dalam Truk Dalmas Kepolisian dan membawanya ke Polres Nabire. Saya mengejar Truk Dalmas tersebut hingga, kita terpisah di Oyehe.
Saya ke arah Kantor Gubernur Papua Tengah, sementara Truk Dalmas ke arah Kantor Polres.
Pukul, 10.00 WP, saya melewati Kantor Gubernur yang merupakan sasaran aksi. Namun, di sana polisi telah memblokade area Kantor Gubernur. Sehingga, lalulintas ke arah Kantor Gubernur tidak bisa dilewati dan kami yang hendak melintas diarahkan putar balik. Dan, karena tujuan saya ke Titik Kumpul Pasar Karang maka saya pun memutar balik ke arah Pasar Karang.
Pukul, 10.10 WP, saya tiba di Titik Kumpul Pasar Karang. Dan, di Pasar Karang, kepolisian membubarkan paksa massa aksi dengan cara kekerasan.
Pukul, 12.00 WP, saya bergerak ke Titik Kumpul Jepara 2. Sesampainya di sana, saya melihat sebagian massa di usir pulang, dan di suruh balik (jika pakai kendaraan) oleh kepolisian.
Saya dan di situ ada beberapa massa aksi, Meli Badi, salah satu massa aksi, "massa sudah bagus dalam tali komando, sudah kami jalan. Tetapi, polisi mereka tahan kami pas di depan perempatan jalan, mereka menutup jalan dan masuk dengan kekerasan. Dari situ baru massa juga mulai emosi," tutur Badi.
Pukul, 12.30 WP, saya hendak mau masuk di Titik Kumpul Jepara 2, situasi di situ sudah diblokade kepolisian. Dan, terbagi antara massa aksi di bagian arah Wadio Gunung, sementara di bagian perempatan-depan Hotel Jepara 2 itu dipenuhi dengan kepolisian. Ada Truk Dalmas, dan ada Mobil Watercanon.
Saya bertemu dengan seorang polisi, namanya tertutup Jas (Rompi) Lantas, menahan saya.
"Kembali, balik! Di sini sudah tidak bisa lewat. Mau bikin apa, pulang ke rumah," kata polisi berjas lantas, bicaranya keras depan saya.
Meskipun saya menunjukkan ID Pers, dan Surat Keputusan Kerja (Tugas), polisi itu tetap menyuruh saya balik.
Kemudian, ada teriakan dari Polisi yang lain lagi, jaraknya agak jauh dari saya. Dia berada tepat di rombongan polisi yang beramai sambil memegang senjata.
"Situasi sudah berubah menjadi kriminal jadi, kamu balik saja, tidak ada ambil-ambil berita di sini," teriakan satu anggota polisi di antar rombongan mereka.
Pukul, 13.00 WP, Saya kemudian mengkonfirmasi korlap aksi. Dia memberitahukan bahwa pihaknya menunggu Tim Negosiasi agar dapat membuka jalan menuju sasaran aksi di Kantor Gubernur Papua Tengah.
Kemudian, pada Pukul, 13:10 WP, saya kembali untuk meng-cas HP saya.
Kepolisian dan pelarangan untuk meliput kegiatan aksi ini, merupakan bagian dari pembungkaman ruang demokrasi. Dan, justru dengan cara mereka ini, kepolisian membiarkan "opini liar" kepada publik agar konflik yang dipicu ini menjadi bias. Sehingga, ini akan memungkinkan label kriminalisasi ini terjadi pada para pecinta demokrasi tapi juga, kemanusiaan dan keadilan.
Hal ini sangat disayangkan karena, masif terjadi di setiap wartawan yang mendapatkan undangan peliputan tapi, tidak dibuka ruang oleh kepolisian.
Saya berharap dan tegas mengecam tindakan Kepolisian siapapun yang bertugas di Papua, lebih khusus Nabire, Papua Tengah, stop! dengan cara-cara kuno seperti ini. Zaman kita ini, bukan di zaman batu sana, semua super modern dan justru sikap arogansi dari kepolisian ini dengan sendirinya akan mencoreng nama baik institusi. Dan, mesti ada pembekalan materi agar ke depannya bisa bekerjasama untuk demokrasi dan kemanusiaan kita yang lebih baik.
Dan, saya secara pribadi tegas mengecam tindakan polisi Polres Nabire yang masif melakukan tindakan kekerasan kepada wartawan. Apabila kaporles hanya bisa meminta maaf maka terkesan melindungi anggotanya dalam melakukan tindakan intimidasi kepada wartawan.
Untuk itu, harus ada tindakan tegas sebagai kapolres, yang mestinya memastikan anggotanya dan memberi sanksi, dan bila perlu copot oknum aparat kepolisian yang melarang wartawan melakukan kerja-kerja jurnalistik. Jika tidak, maka copot Kapolres Nabire karena, tidak mampu bekerja dengan baik, dan terkesan membiarkan tindakan kekerasan terhadap wartawan dengan cara melindungi anggotanya tapi juga, membungkam ruang demokrasi.(*)
Redaksi