[Tabloid Daerah], Jayapura -- Tindakan tidak manusiawi yang dilakukan oleh beberapa oknum prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapatkan kecaman serius dari berbagai organisasi Papua di Yogyakarta dan Solo atas sejumlah kasus di Papua, terutama kasus penyiksaan terhadap warga sipil di Puncak oleh oknum prajurit TNI.
Dari rilis yang diterima awak media tadahnews, organisasi - organisasi Papua itu terdiri dari Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua (IPMAPA) di Yogyakarta dan Solo, Solidaritas Peduli Alam dan Manusia (SPAM) Tanah Papua, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Yogyakarta, Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP), dan Solidaritas Peduli Kemanusiaan (SPK) melakukan aksi mimbar bebas guna menyikapi kasus penyiksaan seperti dalam dua video yang beredar pada Kamis, 22 Maret 2024.
Dua video yang telah beredar luas itu telah mengundang amarah sejumlah pihak. Sehingga, banyak menuai kemarahan melalui tulisan, dan kecaman video bahkan demontrasi di mana-mana. Vdeo penyiksaan berdurasi 16 detik dan 29 detik tentang penyiksaan dan penganiyaan yang sangat keji dan tidak manusiawi terduga dilakukan oleh TNI dari Yonif Rider 300/Braja Wijaya yang bertugas di Puncak, Provinsi Papua Tengah terhadap seorang pemuda warga sipil Papua.
Paulus Tekege, Juru Bicara (Jubir) aksi Mimbar Bebas Yogyakarta – Solo menjelaskan, pihak Pangdam XVII/Cenderawasih segera buka identitas pelaku anggota TNI yang melakukan penyiksaan terhadap warga Orang Asli Papua ke publik.
“Jangan tutupi! Semua harus dibuka. Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Kalau cara seperti ini, kami sangat mengecam Pangdam XVII Cenderawasih atas pernyataan pembohongan publik di media terkait video penyiksaan yang disebut editan. Seharusnya pecat dan penjarakan pelaku penyiksaan terhadap warga di Puncak serta adili di pengadilan umum,” kata Jubir Tekege, tegas melalui keterangan pers yang diterima tadahnews.com, Rabu, (27/3/2024).
Pada tanggal 22 Maret setelah video beredar langsung direspon oleh Pangdam XVII/Cenderawasih melalui sejumlah media dibilang video tersebut editan dan manipulasi gambar. Namun, pada tanggal 23 Maret 2024 Kapuspen TNI Mayjen Nugraha Gumilar telah membenarkan bahwa video tersebut benar dilakukan oleh TNI Yo 300/Yonif Rider Braja Wijaya di Puncak Papua dengan tuduhan berafiliasi dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB).
Tuduhan TNI dibantah oleh Jubir TPN-PB, Sebby Sambom melalui media Jubi.id, Edisi: 23 Maret 2024, "tiga orang warga Papua yang disiksa bukan bagian dari TPN-PB," sebut Sambom dalam lansiran Jubi.id.
Tekege menegaskan pihaknya menilai pernyataan Pangdam XVII/Cenderawasih tersebut upaya untuk menutupi kasus penganiyaan dan menyembunyikan pelaku-pelaku penyiksaan, akan tetapi gagal karena, telah terbantah dengan kenyataan. Video tersebut asli bukan hasil editan.
Kasus tersebut, dalam edisi: 25 Maret 2024, melalui media Tempo Nasional, (Kadispenad) Brigjen TNI Kristomei mengungkapkan telah memeriksa sebanyak 42 Anggota TNI dan 13 orang ditetapkan sebagai tersangka kasus penganiyaan. Namun, identitas dan proses penghukumannya belum jelas. TNI masih tetap menuduh korban penyiksaan adalah berafiliasi dengan TPN-PB tapi, informasi versi masyarakat/keluarga korban belum ada.
“Jelas bahwa kasus penganiayaan tersebut perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Sehingga, tidak dibenarkan dengan alasan apapun,” kata Tekege.
Lebih lanjut dalam rilisnya, pihaknya melihat bahwa kasus serupa juga terjadi di Yahukimo pada tanggal 22 Februari 2024. Penangkapan terhadap dua pelajar SMA inisial MH dan BGE dengan tuduhan mereka anggota TPN-PB saat mencari ikan di kali. Kemudian, TNI melakukan penganiyaan dan menangkap dibawa ke Polres Yahukimo. Setelah diperiksa di media Antara, edisi yang sama, menyampaikan kedua remaja dipulangkan karena, tidak terbukti bersalah, ternyata kedua anak itu secara diam-diam dibawa ke Polda Papua Jayapura tanpa mengetahui pihak keluarga dan saat ini masih dalam tahanan.
Tambahnya, di Intan Jaya pada tanggal 27 Januari 2024 militer melakukan penembakan terhadap tiga orang, dua luka-luka, dan satu inisial YS meninggal dunia. Masih banyak korban kekerasaan aparat TNI-Polri dari tahun ke tahun seperti, yang diungkapkan oleh berbagai lembaga ratusan ribu jatuh korban dalam konflik di Papua. Juga di Pegunungan bintang terjadi penganiyaan oleh seorang polisi berinisial RK terhadap Jein Urpon hingga tewas.
Ia menjelaskan, konflik belum usai pemerintah atau negara terus melakukan pengiriman militer tiap tahun di Papua meningkat drastis. Hal itu dibuktikan dari data Imparsial jumlah militer di Papua, pasukan organik jumlah sekitar 10,500 – 13, 900. Sedangkan, non-organik dari empat batalion yang ada jumlah sekitar 2.800 – 4.000 prajurit. Dan itu dapat menyebabkan korban berjatuhan, pengungsi dimana-mana, trauma berkepanjangan, dan ruang demokrasi di Papua sangat tertutup serta hak aman dan bebas tidak terjamin bagi rakyat Papua.
Di lain sisi pengiriman militer melakukan berbagai operasi militer dibeberapa tempat antara lain; Nduga, Intan Jaya, Puncak Papua, Yahukimo dan Maybrat serta beberapa daerah lainnya sehingga warga sipil mengungsi dari tanah air mereka. Sampai saat ini tercatat jumblah pengungsi data dari film dokumenter Jubi dari tahun 2018 – 2021 yang berjudul “Sa Pu Nama Pengungsi” sebanyak 59.467, 757 meninggal.
Kasus kekerasaan militer TNI dan Polri terus bertambah tiap tahun mulai semenjak Papua dianeksasi kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan setiap kasus tiada satupun yang tuntaskan.
Tekege mengatakan, realita kekerasaan aparat militer baik TNI Polri dan penindasan rakyat papua sampai saat ini belum merasakan keadilan, kedamaian, kebebasan, kenyamanan maka tak salah jika rakyat Papua menyebut keberadaan Indonesia di Papua adalah Kolonial. Sebab dalam kehidupan tak merasakan kehidupan semestinya manusia, selalu diperlakukan bagai binatang seperti kata Filep Karma, “Kitorang Seakan Setengah Binatang”.
“Negara segara bertanggungjawab terhadap eksklasi konflik di tanah Papua. Negara segera hentikan pengiriman TNI Polri baik organik maupun non organik di tanah Papua,” katanya.
Pada penutupan keterangan pers, Pihaknya juga menuntut pembebasan dua remaja SMP yang ditahan di Polda Papua, Jayapura.
“Polda Papua segera usut tuntas kasus pembunuhan Jein Korupon di Kabupaten Pegunungan Bintang oleh aparat penegak hukum. Adili dan penjarakan semua pelaku penjahat pelanggaran HAM, Di Papua dan Indonesia,” tutupnya. (*)