Judul tulisan di atas ini adalah tema diskusi yang dibuat oleh Lingkar Study Papua (LSP) di Nabire pada Hari Sabtu, 13 Januari 2024, adalah diskusi perdana LSP dalam program kampanye dan penyadaran kolektif. Ini, dipantik oleh dua orang pembicara. Yaitu: Pimpinan Redaksi Media Pergerakan Rakyat Papua (laolao-papua.com), dan Rusto dari Organisasi Green Papua.
Di bawah langit sore yang cerah, diskusi ini mengalir begitu bergairah. Peserta diskusi berjumlah puluhan (banyak) yang berasal dari berbagai organisasi juga individu, duduk melingkar. Masing-masing dapat mengutarakan perspektifnya tetang Pemilu, Demokrasi, dan kondisi ketertindasan di Papua.
Diskusi ini diawali dengan sebuah pertanyaan bahwasannya, mengapa gerakan tolak Otonomi Khusus (Otsus) justru lebih ramai, atmosfir pergerakannya lebih besar, ketimbang tolak Pemilu? Apa kah Pemilu punya kontribusi untuk “Papua Merdeka”? Bila ada, dimana dan sebesar apa?
Lalu pertanyaan penting lainnya yang mesti dijawab adalah apakah gerakan Papua merdeka harus mengkritisi Pemilu? Lalu dimana posisi kritik gerakan Papua terhadap Pemilu?
Tentunya, Papua merupakan wilayah yang dikoloni oleh NKRI bersama kapitalisme global. Sejumlah akademisi, diantaranya dalam karya desertase Dr. Veronika Kusumaryati telah menggaris bawahi bahwa Papua merupakan wilayah new colonialism dan atau ada praktek penjajahan gaya baru di Papua.
Lantas manfaat dari pesta Pemilu setiap lima tahun sekali hanya untuk mempertahankan wilayah yang dikoloni, serta memperluas ekspansinya dengan melegitimasi diksi demokrasi. Padahal arti sesunggunya dari demokrasi adalah kekuasaan yang dipimpin oleh rakyat. Pada prakteknya kekuasaan ini dipotong dan diambil alih oleh kapitalisme global dan kolonialisme Indonesia atas kepentingan akumulasi modal. Rakyat tetap berada di bawah kekuasan yang mendominasi.
Mengapa? Karena, indikator demokrasi di Indonesia hanya tinggal satu, yakni; Pemilu. Bila Pemilu juga tidak ada maka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan kembali menjadi negara otoriter. Karena, Pemilu sudah tidak bisa memastikan terpenuhinya demokrasi, termasuk kebebasan berekpresi, kemerdekaan menyampaikan pendapat, dan seterusnya. Kemudian, pemilu juga belum bisa memastikan terpenuhinya hak-hak dasar manusia di Papua; pencarian rasa adil; proses penyelesaian dan perdamaian.
Sementara pelaksanaan Pemilu di Papua dilakukan paksa di atas banyak masalah, banyak persoalan yang tumpang tindih. Persoalan Hak Asasi Manusia (HAM), Demokrasi, Perampasan Lahan, Persoalan Politik Papua Merdeka, semua persoalan ini saling menumpuk dan tidak pernah ada niat baik dari Jakarta untuk menyelesaikan.
Pemilu dan Keadilan di Papua
Secara historis, Perampasan lahan dan hak-hak dasar manusia di Papua sudah berjalan lama. Proses keberadaan Indonesia di Papua saja dilakukan dengan cara yang memaksa. Lantas orang Papua mengatakan bahwa Papua dianeksasi ke dalam Indonesia. Dipaksa masuk dan menjadi bagian dari Indonesia. Dengan pendekatan militer, operasi militer, ditodong untuk mengambil, memiliki, dan memeluk kain merah putih dengan cara menodong, cara-cara yang tidak manusiawi. Kemudian, Pepera 1969 harus dimenangkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)—saat itu ABRI berkuasa atas NKRI, di bawah pimpinan Soeharto—untuk mengamankan status dan keberadaan PT. Freeport Indonesia di Papua. Saat itu Wilayah Papua disebut sebagai wilayah non government atau wilayah tidak berpemerintahan.
Praktek perampasan lahan dan mengeruk Sumber Daya Alam (SDA) menjadi semangat keberadaan Indonesia di Papua. Lantas, Operasi Militer, Rasisme, Diskriminasi terhadap orang Papua, merupakan nada dasar pembanguan NKRI di Papua. Ini disebut bangunan penjajahan. Penjajahan ini dibikin untuk mepertahankan kekuasaan yang mendominasi. Membuat orang papua berada di bawah kekuasaanya dengan membuat dirinya superior dalam segala aspek.
Dari segi jumlah, Orang Asli Papua (OAP) semakin sedikit, seraya ruang-ruang berekspresi untuk menunjukan dan memajukan eksistensi manusia di Papua dipangkas oleh kekuasaan. Proses penjajahan ini diatur terstruktur dan tersistematis untuk Papua tetap berada di bawah kekuasan mendominasi. Orang-orang Papua dibuat untuk tidak lagi berproduksi dan berpengetahuan kritis. Orang Papua dibikin supaya terlena dengan hegemoninya, dikasih uang, diberikan baju Partai Borjuis, ikut Pemilu, selesai. Esok Kembali lagi sebagai manusia Papua yang terjajah. Sebab, Pemilu tidak merubah keadaan.
Lantas ketika kita bertanya Pemilu untuk siapa? Pemilu hanya momentum pergantian orang-orang tanpa merubah esensinya. Esensinya adalah merubah sistim yang mendominasi, menjajah. Ini tidak pernah terjadi dalam proses pelaksanaan Pemilu yang dibuat berulang selama empat (4) kali di Papua sejak dianeksasi.
Hak Dasar Manusia Papua
Dengan adanya pengesahan Undang-undang Minerba, Omnibus Law, dan sejumlah produk Undang-undang lainnya, gerakan rakyat, akademisi, dan berbagai lembaga non pemerintahan telah mengkritisinya bahwa UU tersebut merupakan produk UU penjajahan.
Sebab, dengan adanya UU tersebut perampasan lahan akan lebih massif dengan memberikan jaminan akses modal kepada kapitalis internasional. UU tersebut membuka keran akses modal yang lebih besar dan luas. Lantas konflik-konflik lahan dan perampasan tanah-tanah adat akan semakin massif. Sementara itu, sejumlah pasal dalam UU tersebut sudah menyebutkan pembatasan terhadap ruang gerak bagi gerakan rakyat dengan ancaman penjara dan hukum mati.
Lantas Pemilu dilakukan di atas kondisi konstitusi NKRI sudah menunjukan wajah menjajah. Sudah tidak bisa lagi kita berbicara soal demokrasi, mendiskusikan hak-hak dasar manusia Papua, tentu ancaman nyawa dan kehilangan sarana produksi merupakan hal yang pasti. Pemilu tidak akan merubah hal itu. Sebab semua ini sudah diatur di dalam konstitusi.
Apakah melalui Pemilu Orang Papua dalam berjuang di jalur-jalur konstitusi? Sudah 20 tahun lebih Orang Papua mengalami perjuangan jalur konstitusi. Otsus merupakan contoh perjuangan konstitusional yang gagal di Papua.
Pemilu di Papua yang melahirkan Dewan New Gunie (New Gui Nea Raad) di tahun 1960, tentu berdampak pada Orang Papua. Kekuasaan Belanda mengakui dan menghargai Dewan New Guinea atas keputusan atribut kenegaraan West Papua. Penghargaan ini berangkat dari Hak Penentuan Nasib Sendiri merupakan hak setiap bangsa untuk memisahkan dirinya dari suatu penjajahan.
Sementara Pemilu di Indonesia? Tidak ada ruang kebebasan dan pengakuan atas dewan rakyat dari Papua. Selain hanya menjadi titipan Partai Borjuis dari Jakarta dan boneka kekuasaan di daerah. Sekalipun menjadi seorang Gubernur, Pemilu tidak memberikan dampak kekuasaan atas dirinya dan keberpihakan terhadap orang Papua selain menjadi elit lokal yang tunduk dan taat kepada penguasa.
Dengan begitu Pemilu akan membuka ruang bagi orang-orang Papua yang mau berpartisipasi dalam sistim kekuasan yang menjajah. Dan tidak memberikan manfaat yang berarti untuk Orang Papua, selain ikut Pemilu sehari, dan terus berada di bawah langit ketertindasan selama lima tahun ke depan. Uang dan baju partai tidak akan merubah nasib anak cucu di negeri ini.
Sebab setiap orang di Papua harus bisa memastikan, kata Alm. Mako Tabuni, mantan ketua umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), “… memiliki rumah bagi roh dan jiwanya di atas negeri [Papua] ini.”
***
Tulisan ini merupakan rangkuman diskusi yang dituliskan oleh kolektif LSP untuk kepentingan Pendidikan dan Propaganda.
Editor: Melky Dogopia