Lambertus Magai |
Oleh: Lambertus Magai*)
Kali ini ku ceritakan sosok senja yang menabuh sembilu di bibir pantai utara nusantara timur. Dikala itu senja sore hari yang begitu mengesankan, aku dan Kakanda Linus mulai jalan tanpa tujuan. Entalah kemana……, aku mulai pikir dan memutuskan untuk pergi ke Danau Sentani, ternyata kakak juga menurutiku.
“Ya sudah, kami jalan saja!”
Kami berdua melewati sekitar 5-km. Sore di jalan penduduk Kota Jayapura mulai ramai tanpa henti, kami melihat beberapa pemuda berjalan yang lainnya ramai datang ke mall dan Pasar Sentral. Mama-mama Papua sedang berjualan di jalanan hanya alaskan karung beras sebagai tempat untuk meletakan pangan dagang dengan harga alam, ubi, sayur-sayuran ada, sagu, ikat segar juga disediakan dengan harga kurang lebih Rp. 8.000,00 maksimal uang receh.
Setengah jam, motor yang kami tumpangi buktikan nyalinya, setengah jam kami sampai di kampung Yoka, dekat danau Sentani dengan situasi yang berbeda. Di sana, perlahan ku langkahkan kakiku menatap senja yang berselang merona, setiap bukit terlihat kemuning emas. Alam terhias senja sungguh mempesona seperti gadis Melanesia ketika itu.
Sesekali di pinggir danau Sentani terlihat warga Yoka mulai ramai, berdamai dengan suaca sore asyik berkelompok melakukan aktivitas, beberapa pengunjung asyik memotret keluarga, teman, pacar dll, dengan melatar belakangi rona senja yang tulus memberi warna jingga di mulut barat daya. Ada juga yang sehari untuk menghabiskan waktu didetak danau sentani, mereka adalah nelayan, petarung tangguh di panggung pencaharian nafka untuk melengkapi kebutuhan dan menghidupi keluarga.
Soroti pesona yang indah, terlihat tanah retakan retakan ada ku ingat kembali dosen antropologi, beliau jelaskan, “dulu hanya sekutu belanda yang menguasai Papua, penginggal bias kita saksi sebagai bekas-bekas kaki. Kupikir sejenak, tarik nafas panjang. sekitar terlihat seperti bekas perang dunia II”. Pikirku ketika itu.
Pikir masih bayangin paparan dosen “saat itu belanda menguasai wilaiyah Nederland, belanda telah membuat jalan raya, lapangan Sentani dan mendirikan pos militer di ifar gunung. Sekarang pos militer Indonesia untuk menguasai wilayah papua dengan dalil keamanan.
“Door….. dor dooorrrr” bunyi tembakan itu memotong dosen paparkan materi di ruangan bahkan hamburkan ilmu yang tertata rapi otak. Depresi hingga trauma.
Terdengar bunyi senjata api itu kearah Ekspo, barangkali seakan mimpi tapi nyata. aku angkat kepalaku tertunduk menatap kearah Ekspo, bunyi patroli terdengar di gendang telingak. Polisi dan militer Indonesia menguasai wilaiyah Eskpo Waena dengan menodoh senjata api serta alat-alat tajam seakan akan membunuh binatang. Berbagai kejahatan itu kadang memancing emosi, aku perhatikan mereka beraks menankap beberapa mahasiswa Papua dengan stigma melakukan asksi separatis sekalipun aksi sosil. Beberapa warga sipil yang tak tahu apapa ikut tertembakan, peluruh perak jadi Tuhan dua warga menghembuskan nafas, (mati) pergi tinggalkan dunia.
***
Kadangkala senyum menyimpan pilu. Hari masih dibalut suasana sore, di ujung timur kota Jayapura. Pantai hamadi cemerlang, gemilang benar-benar terlihat sempurna. Kendaraan roda dua maupun roda empat pun ramai berparkiran sepanjang jalan berusaha nikkmati kesejukan alam sekitar teluk Youtefa. Perlahan angin lembut hambar hamparan pantai, alunan nyanyian sunyi mengalung merdu, berisik rantingan cemara isyaratkan suara syaduh sosok Arnold C. Ap terlukis menjadi kenangan baru. Itu hanya kerumunan warga jelata seakan tak diterpa kelombang mestapa, terluka dan berduka. Derita dan kepedihan bersembunyi dibalik senyuman.
“Ah…….tak sanggup melihat-menerima kenyataan dan menanggungnya namun apa daya,” aku sadar, diri ini bukanlah lelaki yang mampu meniduri lautan dengan sekali ucapan. Pongoku dalam hati.
Angin gemuruh hamba sunyi, suara dan tarian burung Cendrawasih yang tersisa di belantara rimba Holandia, sekarang sudah tidak ada lagi sama sekali, hanya bunyi motor asap hitam naik dan senapan jadi pujaan. Kini jembatan merah Youtefa penghubung antar pulau sehingga masyarakat setempat mulai merasakan kebahagian dan perekonomian mereka tercukupi, tapi bagaimana Orang asli Papua merasakan kesejateraan jika dibalik pembangunan masih subur kekerasan.
Daerah pelabuhan Jayapura biasa disebut (Haven) disana terdapat banyak peningglan bangunan tentara sekutu berbentuk “Slider” disana bertambah penduduk bahkan perumahan warga semakin bertambah, laut yang selalu memberi aroma ikat bakar, gelomban ombak yang selalu menepis memeca bibir pantai dan angin samudra pasifik pemberi kehidupan. Semua itu mulai dan telah sirna, ku kecup kening (domestic) bangunan kaca.
“Cobah ko duduk samping pohon itu dengan gaya merenung sesuatu.” kudengar sontak suara kaka Linus. Aku duduk samping pohon itu dengan gaya yang diarahkan. Linus bukanlah seorang fotografer namun potretannya selalu menghasilkan gambar yang bagus.
“Ok kaka ganti gaya lagi kah?”
“Iya, lakukan adik.” Jawab kaka Linus singkat. Setelah itu gantian, kilirang aku memegang camera (Canon) milik kaka Zaver Hiteigai. Kamera itu hadia ulang tahunnya dari Nella, adik perempuannya. Aku rasa tanganku gemetar, sepertinya aku baru pegang kamera (Canon) dan belajar memotret.
***
Suasana mulai dingin, hempasan angin bersepoi tampar tubuhku, hawa dingin kuasai semesta. Adem kaus yang tergambar daun bertuliskan (Piyaiye) bagian depan tepat lurus dada yang aku genakan itu membuatku tak mampu lagi menahan saking ganasnya dingin balut tubuhku. Dalam dingin aku mencoba memotret kaka Linus yang asyik berdiri dekat tembok pinggir danau Sentani dengan latar matahari yang mulai berlalu.
Senyap dan gelap, dewi malam selimuti bumi, “ini ko yang foto saya tadi ka?” Tanya kaka Linus kepadaku.
“Iya kaka” Jawab malu dan kutanya lagi. “kenapa?” kaka Linus menjawabku “Hasilnya bagus jadi tingakatkan adik.” Mendengar hal itu ibarat keajaibain atau motivasi darinya untukku, aku mejawab dengan penuh kegembiraan.
“terimakasih kakaku”
Sudah sejam setelah matahari menyelinap menghilang kearah barat seraya berkelana dan bersembunyi dekat gunug (Cyclop) yang menjulang tinggi. Hanya kulihat lampu yang masih saja menyala terangi malam yang dingin sepanjang jalan. Unggas malam sudah bersahutan dan nyamuk telah berkeliarang. Ku tepuk satu persatu lalu mereka terbunuh dengan nakalnya tanganku.
“Ade Lamek, tidak usa bunuh nyamuk sekalipun di badan, mereka hanya mencari makan, dan nyamuk inilah unggas hutan Papua yang masih tersisa dari berbagai spesies yang terkuras dan sirna.” Kaka Linus sedikit marah yang bukan belarti menyimpan benci.
Berbagai keindahan telah ku nikmati, setelahnya, kebetulan kami pake sepada motor (supra-Z) mesin Honda milik kaka Zaver dan kami memutuskan untuk pulang ke rumah.
Penulis adalah Mahasiswa Universitas Cenrawasih (Uncen), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan