Foto: Natalius Pigai, S.IP., menerima aspirasi di Lapangan Gelardus Tigi, Distrik Mapia Lama, Dogiyai, Papua Tengah/Dok. tadahnews-kontributor |
TaDahnews.com, Nabire -- Terkait dengan penembakan beruntun di Mapia yang telah memakan Korban, pada Hari Sabtu, 21 Januari 2023 lalu, bahwa Keluarga Korban dan Rakyat Mapia berharap ada Tim Investigasi yang transparan, kemudian menunjukkan pelaku di depan umum. Mantan Koordinator Sub Komisi Pemantau dan Penyelidikan Komnas HAM RI (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia), Natalius Pigai, S.IP., disambut aspirasi itu di Mapia Lama, Dogiyai, Papua Tengah, Selasa (21/2/2023).
Mantan Koordinator Sub Komisi Pemantau dan Penyelidikan Komnas HAM
RI itu menyambut aspirasi tersebut mengatakan
dirinya akan mengawal kasus penembakan terhadap Yulianus Tebai, Vincen Dogomo,
dan sejumlah warga sipil lainnya.
Pantauan kontributor tadahnews.com di Mapia yang
hadir pada saat kunjungan NaPi itu mengutip apa yang dikatakannya saat menerima
aspirasi yang diisi di dalam Noken yang terbuat dari bahan Kulit Bunga Anggrek
itu.
"Saya akan kawal atas problem ini sesuai kemampuan
yang saya miliki. Jadi, Tim Pansus bersama keluarga korban jangan lupa
memberikan Surat Kuasa terhadap Lembaga Bantuan Hukum (LBH) supaya, mereka akan
kawal sampai di tingkat regional, nasional, sampai internasional," kata
NaPi saat menerima aspirasi di Lapangan Gelardus Tigi, Distrik Mapia Lama,
dikutip tadahnews.com.
Koordinator Lapangan (Korlap), Natalius Magai berharap agar
aspirasi yang diisi di dalam Noken Anggrek itu tersampaikan dan terwujud.
"Kedatangan saya bersama masyarakat Kabupaten Dogiyai, saya
kasih Noken Anggrek ini di dalamnya kami sudah isi aspirasi sebagai harapan
masyarakat. Jadi, tolong sampaikan kepada Petinggi Kapolri, Jenderal TNI, dan
laporkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa penembakan terhadap
Yulianus Tebai dan Vinsen Dogomo adalah murni pelanggaran HAM berat karena,
terjadi peristiwa ini secara terukur, tersistematis, dan terencana," harap
Korlap.
Lanjut Korlap, Samuel Tatiratu sebagai Polres Kabupaten
Dogiyai menembak mati anak saya yang sebagai seorang anggota Satuan Polisi
Pamong Praja (SatPol-PP) bernama Yulianus Tebai (28 Tahun) saat dia bersama
adiknya hendak mau ke kebun, dan hari yang sama juga Vinsen Dogomo sebagai
rakyat sipil (pelajar SMA) kena tembakan, lalu meninggal pada hari Minggu (19
/2/2023).
Ditambahkannya bahwa sebagai orang tua dari Almarhum Yulianus
Tebai menginginkan agar Kapolres Dogiyai jangan dulu diganti dengan orang lain,
biarkan Kapolres Samuel Tatiratu agar dapat menyelesaikan rangkaian proses
penembakan yang beruntun hingga menyebabkan banyak korban.
"Jika dari Polda Papua mengatakan akan melantik Kapolres Baru
di Kabupaten Dogiyai, berarti kami sebagai rakyat Kabupaten Dogiyai menolak
dengan tegas tolak, tolak, dan tolak. Samuel Tatiratu yang datang untuk
menyelesaikan insiden penembakan terhadap Yulianus Tebai dan Vinsen Dogomo,
juga ada beberapa orang yang luka tembak pada Sabtu (21/1/2023)," Tegas
Korlap.
Agar tidak merasa tertekan atau mungkin saja takut, maka Orang Tua
Korban, Pintitus Tebai menambahkan dari apa yang dibicarakan Korlap mengatakan
bahwa bersama Bupati Kabupaten Dogiyai, Muspida, DPRD, dan seluruh komponen,
kami sudah melakukan Doa Rekonsilasi dan perdamaian pada hari Jumat tanggal 20
Februari 2023 supaya mengakhiri semua konflik di kabupaten Dogiyai.
Kepala Suku Besar Wilayah Siriwo, Mapia, Piyaiye,
Topo dan Wanggar (biasa disingkat menjadi Simapitowa), Vabianus Tebai
mengatakan perlakuan aparat keamanan terhadap Yulianus Tebai, Vinsen Dogomo dan
seluruh rakyat Papua Barat menambah panjang deretan daftar
pelanggaran HAM di Tanah Papua.
“Semakin tingginya pelanggaran HAM, maka rakyat
Papua terus minta merdeka dari negara kolonial Indonesia. Indonesia
melalui aparat keamanan hadir sebagai penjajah di Tanah Papua, karena sifat dan
karakter yang dimiliki aparat keamanan sangat tidak manusiawi,”
tuturnya.
Sementara itu, kehadiran NaPi menuai kritikan
dari Tokoh Pemuda Adat Wilayah Meepago.
Dalam keterangan tertulis yang diterima
tadahnews.com, Dasar pemikiran dari Pemuda Adat itu, sebut saja Abet
Gobai bahwa apakah kehadiran Bapak
Natalius Pigai membawa dampak yang baik? Jawabannya, tentu tidak sama sekali.
Sebab, hukum dideklarasikan oleh kekuasaan untuk menjalankan ambisi negara.
"Hukum di negara Indonesia tidak relevan bagi rakyat Papua.
Apalagi melihat jejak mantan Komnas HAM RI, Bapak Natalius Pigai bahwa dirinya
tidak pernah menyelesaikan satu kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua,
lantas apakah aspirasi yang diterimanya apakah akan terselesaikan? Tentu
tidak," Kata Pemuda Adat.
Lebih lanjut, dirinya mengatakan bahwa hukum yang beradab tidak
ada di Indonesia, banyak kasus yang terjadi di beberapa kabupaten, seperti;
kasus mutilasi di Timika, itu seorang terdakwa kasus mutilasi empat warga di
Mimika, Papua Tengah, Mayor D, divonis hukuman penjara seumur hidup dan dipecat
dari kesatuan TNI, tidak ada eksekusi mati aktor yang telah terlibat langsung
dalam pembunuhan berencana di Mimika itu. Lanjut, kasus Paniai berdarah. Kejaksaan
Agung (Kejagung) menetapkan satu tersangka dalam kasus dugaan pelanggaran HAM
Berat di Paniai. Tersangka diketahui merupakan anggota TNI berinisial IS
dibacakan vonis bebas. Sementara, kasus pelanggaran HAM lainnya yang tidak
pernah diusut tuntas oleh negara dan terbengkalai di meja Komnas HAM, dan tidak
pernah ditindak lanjuti oleh negara.
"Negara tidak pernah hadir untuk menuntaskan seluruh
pelanggaran HAM. Walaupun hadir, itu juga hukum tidak realistis untuk
masyarakat Papua maka, hukum Indonesia sudah tidak relevan bagi rakyat Papua.
Itu faktanya, ketika hukum dipandang tidak relevan yang hanya mengisolasi Orang
Papua. Dan, dalam penyelesaiannya tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh
Orang Papua," tegasnya.
Pemuda Adat justru menilai yang paling relevan adalah Hukum
Rimbah. Menurutnya, ini relevan bagi masyarakat Papua karena, dilihat setiap
manusia sama, tidak ada yang dianggap renda dari manusi lain dan begitu pun
sebaliknya, tidak ada yang dianggap tinggi dari manusia lain.
Sikap Pemuda Adat, Bapak Natalius Pigai ke Mapia untuk
mendengar dan menerima aspirasi yang dibentuk Pansus oleh DPRD Dogiyai.
Aspirasi yang diserahkan itu akan buntut tanpa ada penyelesaian yang sesuai
dengan keinginan Orang Papua di Dogiyai itu.
"Nampaknya akan menyisahkan kebuntutan, aspirasi di NaPi.
Sebab, masyarakat patut menanyakan posisi dan poksi dari pada NaPi sebagai apa?
Apa hubungannya dengan NaPi sehingga masyarakat begitu antusias bahagia
mendengarkan kedatangannya. Siapa yang mengutusnya? Apakah dari Pemerintah
Pusat? Tidak. Apakah seorang mantan Komnas HAM dapat menjalankannya? Bisa benar
bisa juga tidak benar, atau kedatangannya sebagai Aktivis HAM berada dalam
keadaan yang dinamis," pungkas Pemuda Adat.
Tutup Pemuda Adat Meepago, ketika seorang NaPi hadir di Mapia,
apakah akan memberikan efek yang jerah? Tidak juga. Sebab, hukum memiliki
proses tertentu dan itu mutlak. Entahlah, ini merupakan proses yang begitu
rumit sehingga Pansus tidak memiliki alternatif mencari solusi yang diinginkan
Rakyat.
"Rakyat inginkan pelaku penembakan tersebut harus diungkapkan
dan dihadirkan dilapangkan. Sehingga, rakyat menyaksikan pengakuan dari pelaku
sendiri. Jadi, apakah seorang Natalius Pigai bisa menghadirkan pelaku-pelaku.
Itu pertanyaan yang harus dijawab oleh seluruh lembaga dan perangkat negara.
Sebab, Ketika pelaku tidak diungkapkan dan tidak dihadirkan maka kasus yang
sama akan terus terjadi di Papua," tutup Pemuda Adat Meepago.(*)
Kontributor: Antonius Boma
Editor: Angsel H