Foto: Aksi Bisu Jilid II, Rakyat Papua yang dikoordinir oleh RPMR menduduki Kantor Pengadilan Negeri (PN) Kelas A Jayapura/Dok.tadahnews-EDo |
TaDahnews.com, Nabire -- Rakyat Papua Melawan Rasisme (RPMR) bersama Victor Yeimo (VY), Rakyat Papua yang dikoordinir oleh RPMR menduduki Kantor Pengadilan Negeri (PN) Kelas A Jayapura, tepat di depan kantor itu menuntut segera bebaskan VY tanpa syarat.
Dalam Aksi Bisu Jilid II, rakyat Papua yang tergabung dalam RPMR menuntut Pemerintah Republik Indonesia agar segera membebaskan Victor Yeimo tanpa syarat. Apapun karena, Victor bukan pelaku Rasisme. Tetapi, korban Rasisme, Selasa (24/1/2023), di Jayapura, Papua.
RPMR memberikan keterangan pers kepada media ini bahwa rakyat Papua melawan rasisme bersama Victor Yeimo karena, Rasisme adalah musuh seluruh dunia.
Rasisme adalah salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan yang terjadi hampir di seluruh penjuru dunia dan menyasar kelompok ras dan etnis yang dipandang minoritas dan inferior.
RPMR memberikan keterangan pers kepada media ini bahwa rakyat Papua melawan rasisme bersama Victor Yeimo karena, Rasisme adalah musuh seluruh dunia.
Rasisme adalah salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan yang terjadi hampir di seluruh penjuru dunia dan menyasar kelompok ras dan etnis yang dipandang minoritas dan inferior.
Saat Belanda menjajah Indonesia, Belanda menggunakan kata Inlander, sama dengan Anjing atau manusia tingkat rendah, yang mengarah pada pribumi Indonesia. Dan, saat Belanda menjajah Papua, Belanda menggunakan kata Babi pada penduduk pribumi Papua di Papua. Dan saat ini, kata yang sering dipakai Indonesia untuk mendiskriminasi ras kulit hitam di Papua adalah kata Monyet atau Kera.
Rasisme bukan sekedar ujaran rasial secara langsung. Tetapi, tindakan lain seperti; menutup hidung saat melihat atau berinteraksi dengan orang karena, menganggap orang itu bau atau kotor karena, warna kulitnya hitam. Ini adalah bagian dari tindakan rasisme. Pengakuan bahwa semua manusia dari berbagai ras dan etnis memiliki hak yang sama untuk hidup dan diperlakukan selayaknya manusia adalah perjuangan di level internasional. Semua orang di dunia berjuang untuk dipandang setara sebagai manusia.
Rasisme bukan sekedar ujaran rasial secara langsung. Tetapi, tindakan lain seperti; menutup hidung saat melihat atau berinteraksi dengan orang karena, menganggap orang itu bau atau kotor karena, warna kulitnya hitam. Ini adalah bagian dari tindakan rasisme. Pengakuan bahwa semua manusia dari berbagai ras dan etnis memiliki hak yang sama untuk hidup dan diperlakukan selayaknya manusia adalah perjuangan di level internasional. Semua orang di dunia berjuang untuk dipandang setara sebagai manusia.
Karena, rasisme adalah masalah yang terjadi di seluruh belahan dunia maka pada tanggal 21 Desember 1965, Majelis Umum PBB mengesahkan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination/CERD). Dengan disahkannya konvensi ini, maka konvensi ini memiliki kekuatan hukum kepada negara anggota yang menandatangani konvensi ini. Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani konvensi ini pada tanggal 25 Mei 1999.
Sebagai tindak lanjut dari diratifikasinya CERD, maka Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang isinya mendukung segala bentuk penghapusan diskriminasi ras dan etnis, dalam Pasal 7a dan Pasal 7c telah diberikan tanggung jawab pemerintah adalah memberikan perlindungan terhadap warga negara yang mendapatkan tindakan diskriminasi, mendukung dan mendorong penghapusan diskriminasi ras dan etnis.
Sebagai tindak lanjut dari diratifikasinya CERD, maka Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang isinya mendukung segala bentuk penghapusan diskriminasi ras dan etnis, dalam Pasal 7a dan Pasal 7c telah diberikan tanggung jawab pemerintah adalah memberikan perlindungan terhadap warga negara yang mendapatkan tindakan diskriminasi, mendukung dan mendorong penghapusan diskriminasi ras dan etnis.
Semua aturan yang telah ada dengan jaminan perlindungan hukum terhadap korban rasisme, dan sangsi hukum yang telah ditetapkan terhadap para pelaku rasisme, seharusnya rasisme adalah tanggung jawab semua orang yang mengakui bahwa diskriminasi ras adalah tindakan yang bertentangan dengan asas persamaan, asas kebebasan, asas keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Dan untuk menghapusnya adalah tanggung jawab bersama semua orang.
Rasisme yang selama ini dirasakan oleh orang Papua sendiri memuncak pada peristiwa di Surabaya. Dimana, sekelompok masyarakat datang di Asrama Mahasiswa Papua dan meneriakan “Keluar ko monyet” dan kata “Usir Papua Sekarang Juga”. Tindakan ini memantik kemarahan rakyat Papua di semua kota dengan memobilisasi diri sebagai kesadaran tertinggi rakyat Papua bahwa rakyat Papua bukan monyet melainkan manusia yang memiliki hak hidup yang sama. Aksi Rasisme dilakukan pada tahun 2019 sebagai wujud perlawanan rakyat.
Meski telah melakukan perlawanan yang memancing ribuan manusia, yang melawan diskriminasi ras terhadap orang Papua ternyata itu belum cukup, rasisme masih terus terjadi. Dalam kondisi sakit dengan status tersangka kasus korupsi, Gubernur Papua, Lukas Enembe dikatakan kera, monyet, dan binatang. Lukas Enembe adalah orang Papua yang menerima perlakuan rasis dari orang-orang yang tidak memandang orang Papua sebagai manusia. Lukas Enembe hanyalah salah satu dari jutaan rakyat Papua yang telah merasakan perlakuan rasis. Bahkan tokoh-tokoh besar seperti Frans Kaisiepo, Boas Salossa, dan Natalius Pigai yang berjuang untuk Hak Asasi Manusia (HAM) semua turut menjadi korban rasisme.
Untuk melawan segala bentuk rasisme terhadap orang Papua dan untuk semua kelompok ras dan etnis lainnya, saat ini Victor Yeimo sedang berada di dalam penjara karena, membela harkat dan martabat manusia Papua yang disebut sebagai monyet.
Orasi Politik Victor Yeimo tentang rasisme dianggap sebagai perbuatan yang melawan negara tanpa melihat isi dari narasi yang dikeluarkan oleh Victor Yeimo. Sementara, Victor Yeimo dan para tahanan politik sebelumnya langsung diadili dengan pasal makar, para pelaku rasisme justru tidak kunjung diadili dan diberikan hukuman sesuai Pasal 16 bahwa para pelaku rasisme akan dihukum lima (5) tahun penjara atau denda paling banyak Rp. 500.000.000.
Oleh karena penjelasan di atas rakyat yang tergabung dalam RPMR menyatakan sikap, sebagai berikut:
Pertama, Segera hapuskan diskriminasi ras dan Etnis, serta tangkap dan adili semua pelaku rasisme.
Kedua, Mengutuk dengan keras ujaran Rasis dan penyiksaan terhadap tiga anak di Kerom dan meminta Pengadilan Militer III, Jayapura, Papua untuk memberikan vonis hukuman mati terhadap lima pelaku kasus mutilasi, hentikan segala bentuk teror dan intimidasi terhadap Jurnalis dan Pembela HAM di Papua.
Ketiga, Bebaskan Seluruh Tahanan Politik di Papua.
Keempat, Hentikan kriminalisasi terhadap Victor Yeimo sebagai korban rasisme dan, Bebaskan Victor Yeimo tanpa syarat.
Demikian pernyataan sikap ini, melalui keterangan pers kepada media ini Koordinator RPMR, Wene Kilungga dan Kenias Payage memberikan keterangan dengan penuh rasa tanggung jawab.(EDo/TaDahnews.com)
Oleh karena penjelasan di atas rakyat yang tergabung dalam RPMR menyatakan sikap, sebagai berikut:
Pertama, Segera hapuskan diskriminasi ras dan Etnis, serta tangkap dan adili semua pelaku rasisme.
Kedua, Mengutuk dengan keras ujaran Rasis dan penyiksaan terhadap tiga anak di Kerom dan meminta Pengadilan Militer III, Jayapura, Papua untuk memberikan vonis hukuman mati terhadap lima pelaku kasus mutilasi, hentikan segala bentuk teror dan intimidasi terhadap Jurnalis dan Pembela HAM di Papua.
Ketiga, Bebaskan Seluruh Tahanan Politik di Papua.
Keempat, Hentikan kriminalisasi terhadap Victor Yeimo sebagai korban rasisme dan, Bebaskan Victor Yeimo tanpa syarat.
Demikian pernyataan sikap ini, melalui keterangan pers kepada media ini Koordinator RPMR, Wene Kilungga dan Kenias Payage memberikan keterangan dengan penuh rasa tanggung jawab.(EDo/TaDahnews.com)
Reporter: Elias Douw
Editor: Melky Dogopia