Untuk membahas terus terang saya sudah menulis banyak. Tapi ada serangan virus sehingga semua tulisan hilang begitu saja. Ini adalah sedikit dari cacatan yang saya buat, sebagai ganti dari tulisan yang sebelumnya secara agak panjang lebar saya tulis, namun langsung musnah bagai, budaya lokal Papua yang hilang begitu tergantikan oleh agama.
Langsung Pada Inti
Berbicara Missionaris, peran mereka cukup besar dalam artian positif dan negatif sekaligus. Peran positif para Missionaris sebagai perintis, transformator utama dalam membuka isolasi masyarakat terasing manapun dunia ketiga (Asia, Afrika, dan Amerika).
Bagi kita orang Melanesia di Pasifik mereka membawa perubahan dari keisolasian dan keterasingan masyarakat pribumi dari pola hidup primitive membawa masuk langsung ke masa kekinian (modern). Tapi peran negatif mereka menurut saya mereka adalah menggantikan religi lokal dengan konsep religi semit dan itu menghancurkan konsepsi agama suku.
Jasa Missionaris bagi suku-suku terasing tidak begitu saja diabaikan, sebaliknya adat istiadat terutama seni budaya dapat pula menjadi punah. Masyarakat Teluk Cenderawasih Papua memiliki seni ukir yang sangat bagus. Masyarakat Sentani juga ukiran patung seninya melebihi keindahan seni patung yang kini dimiliki Papua dari Asmat.
Namun sayang semua dimusnahkan, dihilangkan, demi kebenaran agama Kristen Protestan. Seorang Intelektual Papua pertama yang mendapat gelar doktor antropologinya dari Negeri Belanda: “pernah marah-marah atas peristiwa penghancuran budaya Papua oleh para Missionaris”. (Koenntraningrat, 1993).
Sebagai ganti dari religi asli orang Pasifik dihancurkannya itu kita diberi sekolah, ini jasa baik secara konkrit Missionaris: kalau tra begitu, Pace tra bisa jadi Gubernur, Bupati, Camat, DPR dll. Tapi karena ini, orang Papua, konsepsinyanya, nilainya, religinya, seninya, pahlawannya, idolanya, semua semua nilai genuin menjadi tergantikan. Begitu tiba-tiba orang Papua peduli dengan Yesus, Muhammad, atau Islam dan Kristen.
Missionaris menggantikan semua konsepsi lokal dengan konsepsi baru bawaan mereka, yang juga sebenarnya telah terkontaminasi nilai lokalitas para pembawa. Karena itu Islam Jawa tidak sama dengan Islam Aceh. Islam Walesi akan menjadi berbeda dengan Islam Indonesia.
Untuk latihan intelektual (intelektual exercise), ada baiknya kita kaji kembali, apa itu kebenaran, apa itu kebaikan, bagi siapa, untuk apa, sejauh mana semua itu dampaknya bagi kita adalah kajian dengan tema model begini menurut saya bagus. Tapi saya tetap mengucapkan terimakasih kepada Missionaris yang lebih menghargai, dari pada memahaminya sebagai destroyer budaya atau adat suku. Mungkin cara mereka sopan dan santun untuk menghargai penduduk pribumi dunia manapun. Sebagaimana ungkapan santun berikut:
"Terimakasih kami telah memiliki benda-benda ini, karena mencintainya kami hendak meninggalkannya dengan memusiumkan di Wesagaput".
Dunia manapun memiliki, adat, suku dan tradisi, tanpa kecuali di kalangan masyarakat semit, yang sejak mula melahirkan, merima , dan menyiarkan serta memempopulerkan agama samawi diseluruh pelosok dunia, terutama tiga agama semitisme yakni Yahudi, Kristen dan Islam. Yang berarti juga agama anutan masyarakat kita, masyarakat Papua. Tapi agama demikian selalu dimana-mana diwataki oleh nilai lokalitas budaya setempat menjadi sudah, sehingga tidak lagi murni. Karena itu semurni agama apapun yang kita mau terima, selalu menjadi sudah terkontaminasi lokalitas nilai penyiar darimana dia berasal.
Tidak ada agama lahir di Eropa, Afrika, dan Amerika. Tapi agama lahir diantara pertemuan di tiga muara Benua dan peradaban dunia (Timur Tengah). Agama kemudian dibawa keluar dari tempat lahirnya, dibesarkan diluar, kemudian di siarkan oleh para missionaris. Baik Islam (Muballiqh, Da'i) atau secara individual dalam bentuk aktivitas dagang, Missionaris kristen utusan dewan gereja khusus) ke Eropa, Asia dan Amerika Latin dan Belahan Fasifik.
Missionaris bagus, baik, dan membenarkan ketika anda didalamnya, menjadi sebaliknya kalau anda bukan didalam. Dunia yang sering terus mengglobal kita tidak mungkin terus-menerus mempertahankan diri dalam keisolasian diri kita. Kita selalu sudah harus bersentuhan dengan nilai baru tanpa kita merencanakannya sendiri. Begitu tiba-tiba kita menjadi muslim, Kristiani adalah sesuatu yang tanpa pernah kita merencanakan atau kehendaki menjadi demikian adalah sesuatu yang tanpa kita sadari tapi berlangsung demikian. Kita tidak pernah mengerti mengapa demikian adalah suatu peryanyaan tanpa pernah kita bertanya.
Ada teman etnis Cina pernah binggung terhadap dirinya, katanya; "Bukan mau saya, kalau tiba-tiba saya lahir sebagai orang Cina”, tatkala mendapati dirinya di benci orang muslim Indonesia (pribumi). “Tapi kenapa mereka membenci saya?” atau “mengapa mereka tidak membenci Tuhan”? Karena alasannya saya menjadi etnis Cina dan Kristen Indonesia adalah kehendak Tuhan. Padahal ibunya atau ayahnya tidak pernah berhasrat dan mencita-citakan menjadi orang cina atau apapun. “Tapi mengapa orang-orang ini membenciku hanya lantaran , dan karena bukan lain tapi karena saya terlahir sebagai Cina yang sebenarnya tidak pernah saya rencanakan sendiri?".
Namun Cina indonesia menghadapi dirinya dibenci, diperkosa, dan lain-lain bentuk ketidak adilan minoritas dideritanya, hanya lantaran dia terlahir sebagai Cina di Indonesia. Adalah sesuatu hal yang tidak pernah dimengertinya namun pernah berlangsung pada masa pemerintahan Orde Baru.
Demikian ada teman dari Tim-Tim yang Muallaf, dengan berapi-api mengatakan bahwa dirinya menbenci tidak saja agama lama yang pernah ditinggalkannya, namun juga orang-orang, penganut agama lama yang ditinggalkannya ikut dibenmcinya.
Membuat saya heran adalah yang benar dan baik apakah dirinya dan agamanya ataukah yang jahat dan salah adalah dirinya dan kelompoknya yang suka menyerang orang kelompak lain? Kita tidak pernah mengerti tapi demikian manusia tanpa pernah mau menyadari berlangsung terus menerus, selalu saja ada dimana-mana termasuk di sini, mungkin juga dalam diri kita.
*** ***
Ismail Asso*)
Calon BUPATI KABUPATEN JAAYAWIJAYA 2024-2028