Foto: Ngatiyem, versus Mohammad Hatta |
TaDahnews.com, Tanah Papua - Permasalahan Politik Papua di Tanah Papua, menurut Ngatiyem, dalam skripsinya yang berjudul, “Organisasi Papua Merdeka 1964-1998”, Tahun 2007, merupakan pandangan politik yang mendominankan ke-Indonesiaan terhadap Papua dan telah menjadi konsumsi publik maka publik sebaiknya mencerna dari berbagai pihak, utamanya adalah pihak korban dan kemudian pihak pelaku, hal ini untuk menunjukkan kebenaran dan pengetahuannya menjadi jelas dan bisa dipahami atau bahkan menjadi tindaklanjut yang lebih baik.
Skripsi, Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret-Surakarta, Tahun 2007 yang dibuat oleh Ngatiyem, versus Mohammad Hatta, publik mestinya menggali berbagai sumber seperti, PDP yang telah mengedukasi di bidang sejarah.
Menurut Ngatiyem, dalam ulasan pengantar skripsinya, puncak permasalahan Politik Papua bermula pada perbedaan pandangan antara pihak Indonesia dengan Belanda di dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) akhir tahun 1949, yang dalam perundingan itu, Indonesia dan Belanda tidak berhasil mencapai kesepakatan mengenai wilayah kedaulatan Indonesia. Karena, Belanda tetap mempertahankan Papua sebagai wilayah yang terpisah dari Indonesia.
Mohammad Hatta tidak mau mundur dengan sikap yang dipegang jauh sebelum proklamasi, wilayah Indonesia meliputi seluruh wilayah Hindia-Belanda. Sebenarnya, justru, Mohammad Hatta, sejak awal saat proklamasi Indonesia Merdeka, pernah mengatakan bahwa wilayah kedaulatan Inonesia Merdeka adalah dari Sabang sampai Amboina karena, selain berbeda etnis, Ia mengkhawatirkan Indonesia dicap Negara Imperialis. Jika ditanya, ke Orang Papua sebagai korban, dalam kasus ini, maka mereka mengakui kebenarannya.
Hatta sampaikan seperti yang dilansir melalui https://historia.id, pada sidang BPUPKI 11 Juni 1945 yang tercatat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha- Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), tertanggal, 29 Mei 1945 sampai 19 Agustus 1945.
“Saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua sama sekali tidak saya pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa merdeka,” kata Muhamad Hatta.
Tiba-tiba, Indonesia melalui Trikora, menggiring Belanda ke puncak perundingan untuk menguasai Papua melalui kesepakatan PEPERA, yang justru dilakukan secara Cacat Hukum; intimidasi, dan pemaksaan dengan metode “mati atau pilih Indonesia”.
Ambisi “tiba-tiba” itu ditindaklanjutkan, sehingga antara tahun 1963-2004, negara telah melakukan 15 kali operasi militer di Papua. Yaitu: Sebagai berikut.
Pertama, Operasi Wisnumurti I dan II; Operasi ini dilakukan pada Mei 1963 hingga April 1964. Pimpinannya adalah Brigjen U. Rukman. Tidak diketahui tujuan operasinya.
Kedua, Operasi Wisnumurti III dan IV; Operasi Giat, Operasi Tangkas dan Operasi Sadar. Operasi ini dilakukan pada 1964 hingga 1966 yang dipimpin oleh Brigjen Kartdjo. Tidak diketahui tujuan dari operasi itu.
Ketiga, Operasi Baratayudha; Operasi ini dilakukan pada Maret 1966 dengan tujuan operasinya untuk menghancurkan OPM dan memenangan PEPERA. Operasi ini dipimpin oleh Brigjen R.Bintoro.
Keempat, Operasi Sadar, Baratayudha dan Operasi Wibawa; Operasi ini dilakukan pada 25 Juni 1968. Di pimpin oleh Sarwo Edhie Wibowo, dengan tujuan untuk persiapan penyelenggaraan PEPERA.
Kelima, Operasi Pamungkas; Operasi ini dilkukan antara 1970-1974, dipimpin oleh Brigjen Acub Zainal. Tidak diketahui tujuan operasinya.
Keenam, Operasi Kikis; Operasi ini dilakukan pada 1977 – 1978, dipimpin oleh Jendral Imam Munandar dengan tujuan operasi di sepanjang perbatasan Papua-PNG.
Ketujuh, Operasi Sampu Bersih; Operasi ini dilakukan pada tahun 1978-1982, dipimpin oleh Jendral C.I Santoso, dengan tujuan operasi untuk mengejar OPM di Biak dan Penjagaan Perbatasan Papua-PNG.
Kedelapan, Operasi Sate; dilakukan pada tahun 1984, dipimpin oleh R.K Sembiring Meliala. Dengan tujuan operasi di Jayapura dan perbatasan Papua-PNG. Operasi ini mengakibatkan puluhan ribu orang Papua mengungsi ke PNG.
Kesembilan, Operasi Galak I; dilakukan tahun 1985-1986, dipimpin oleh Mayjen Simanjuntak.
Kesepuluh, Operasi Galak II; dilakukan tahun 1986-1987, dipimpin oleh Setiana.
Kesebelas, Operasi Kasuari I dan II; dilakukan tahun 1987-1989, dipimpin oleh Wismoyo Arismundar.
Keduabelas, Operasi Rajawali I dan II; dilakukan tahun 1989-1991, dipimpin oleh Abinowo.
Ketigabelas, Operasi Pengamanan Daerah Rawan; dilakukan tahun 1998-1999, dipimpin oleh Amir Sembiring.
Keempatbelas, Operasi Pengendalian Pengibaran; Operasi ini dilakukan tahun 1999-2002. Tujuannya untuk pengendalian pengibaran Bintang Kejora, dipimpin oleh Mahidin Simbolon.
Kelimabelas, Operasi Penyisiran di Wamena; Operasi ini dilakukan pada 2002-2004, dipimpin oleh Nurdin Zaenal.
Berbagai operasi militer ini dilakukan dan sudah terjadi di Papua, sementara negara ini, memperkenalkan kepada dunia internasional bahwa Negara Indonesia adalah Negara Demokrasi yang menjujung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) yang selalu mengedepankan pendekatan persuasif dan komunikatif yang digenggam untuk kesejahteraan dan kemakmuran, dalam menangani Papua.
Apakah benar?
Pandangan-pandangan politik berbagai pihak terhadap Papua yang keliru berdasarkan segala legalitas unsur-unsur ke-Indonesiaan, seperti; Skripsi, Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret-Surakarta, Tahun 2007 yang dibuat oleh Ngatiyem. Juga, menjadi kebiasaan buruk dalam rangka mengedukasi generasi bangsa dengan mengkondisikan sejarah yang terjadi dan kemudian diracik untuk menjadi konsumsi publik maka, baiknya tidak menulis berdasarkan perspektif ke-Indonesiaan dan seharusnya mencerna dari berbagai pihak, utamanya adalah pihak korban dan kemudian pihak pelaku, maka kebenaran dan pengetahuannya menjadi jelas dan bisa dipahami atau bahkan menjadi tindaklanjut yang lebih baik.
ADMIN