|
Ilustrasi |
Penulis: Aisyah Karim**
IDE gender yang digagas sejak Indonesia merdeka dan dikuatkan oleh pemerintahan Orde Baru, Orde Reformasi hingga rezim saat ini telah menemui tujuannya: hilangnya perlindungan terhadap perempuan dan anak. Bandingkan kondisi perempuan dan anak pada era sebelum undang-undang gender diratifikasi oleh negara dengan kondisi saat ini, ketika ide ini telah diadopsi dan dideraskan ke tengah-tengah masyarakat. Apakah semakin baik atau semakin menyedihkan?
Paket penjajahan gaya baru kapitalisme berkedok demokrasi melibas negara-negara di dunia. Tak satupun dari negara-negara yang dimasuki demokrasi kecuali mereka mengganti sistem hukumnya dengan hukum Barat. Melalui tangan PBB sebagai perpanjangan tangan neokolonialisme mendikte bangsa-bangsa untuk menerapkannya. Rusaklah sendi politik, ekonomi, sosial dan kedaulatan. PBB telah menyeragamkan prinsip negara-negara dalam prinsip global dan mendorong bangsa-bangsa terutama negara berkembang dan miskin menjadi pengekor setia mereka.
Indonesia memiliki UU CEDAW, UU HAM, UU Perlindungan Anak. Disekolah anak dan remaja di suguhkan materi kesehatan reproduksi (Kespro) sebagai bagian dari agenda sexual and reproductive Health and Rights yang sangat potensial merusak generasi muda. Semua kebijakan ini semakin mengokohkan agenda liberalisasi dalam pembentukan karakter anak.
Padahal tanpa Kespro dan hak seksual anak, kejahatan seksual telah mengintai anak-anak kita, bahkan di tempat yang kita anggap paling aman sekalipun. Apa efek buruk Kespro bagi anak? Mereka paham seks aman dan penasaran mencobanya. 600 kasus kejahatan seksual pada anak yang terjadi sepanjang Januari sampai April 2014, pelaku pada 137 kasus dilakukan anak-anak!
Komisi Nasional (Komnas) Perempuan melalui Catatan Tahunan (CATAHU) 2020 menemukan angka korban serta pelaku kekerasan seksual anak yang cukup mengkhawatirkan pada 2019. Komnas Perempuan masih menemukan adanya pelaku kekerasan seksual anak di bawah usia 18 tahun selama 3 tahun berturut-turut. Jika dibagi dengan penduduk usia yang sama, 7 anak per 1 juta usia anak kurang dari 18 tahun berpotensi menjadi pelaku per tahun. Dengan kata lain setiap hari rata-rata dua anak menjadi pelaku kekerasan.
Selain melalui penancapan liberalisasi melalui sistem, praktek-praktek liberalisasi didesakkan sekaligus dengan sekulerisme, pluralisme, dengan beserta ide turunannya. Jadilah masyarakat kita individualis, permisif dan hedonis. Selain itu media massa mengambil peran yang tidak sedikit dalam penyebaran nilai-nilai rusak. Perhatikan acara televisi di negara kita, terutama tayangan sinetron dan iklan TV.
Praktisi Informasi dan Teknologi (IT) Nina Sulistiyowati, mengingatkan orang tua mesti khawatir akan dampak negatif bagi anak-anak sebab penggunaan gawai yang berlebihan. Konten yang salah dari game atau tontonan pada gawai akan membuat perubahan perilaku anak ke arah negatif. Bukan hanya itu, anak-anak pun rentan menjadi korban predator seksual di dunia maya. Masih ingat kasus predator Fetish Jarik yang dilakukan mahasiswa PTN di Surabaya? Korbannya puluhan orang dengan status mahasiswa pula.
Begitulah kapitalis tak peduli halal haram. Mengutip dari detik.com tertanggal 21 Oktober 2020, Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengejar pajak Netflix dan dalam beberapa bulan mengantongi 96 miliar. Penguasa ogah mikir dengan konten-konten Netflix yang bermuatan pornografi, SARA, hingga Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT) dan melanggar norma kesusilaan.
Hingga akhir 2019, layanan yang didirikan Marc Randolph and Reed Hastings tersebut menargetkan 200 negara. Pada November 2018 Netflix mencatat rekor pendapatan terbesar dalam sejarah perusahaan. Menurut Laporan TechCrunch, Netflix meraup pendapatan sebesar USD 86,6 juta. Konten asusila memang memenuhi sajian Netflix, kapitalis tidak pernah peduli soal moral ambyar atau soal rambu-rambu syariat.
sumber: https://www.harianaceh.co.id/2020/10/26/raibnya-perlindungan-terhadap-perempuan-dan-anak/
Baca Juga