Foto: Sonny Dogopia, Ketua MAI Deiyai |
Deiyai, Tadahnews.com -- Lomba menulis artikel ini bertemakan “Melestarikan Nilai-Nilai Budaya Warisan Leluhur Mee”, Masyarakat Adat Independen (MAI) Deiyai menanggapi bahwa perlu mengasah “bahasa ibu” tapi, tidak boleh dipolitisasi praktis atau pun pencitraan.
Hal ini dibenarkan oleh Ketua MAI Komite Kota Deiyai.
“MAI mengapresiasi terciptanya ruang-ruang seperti yang
diselenggarakan oleh Dumupa Odiyaipai Foundation, ini disemangati oleh hadia
melalui lomba, dan memang bahwa perlu mengasah bahasa ibu yang kian teruncing
punah,” kata Sonny Dogopia, ketua MAI Deiyai kepada awak media ini, Minggu
(14/2/2021), melalui via-telphonecelluler.
Lanjut ketua MAI Deiyai, selagi baik bagi masyarakat wilayah
adat Meepago khususnya Suku Mee untuk mengasah dan memperkuat jati diri maka
penting untuk mengambil bagian di dalamnya, hanya saja ajang-ajang seperti itu
terkadang dipakai oleh para elit politik lokal di Papua untuk mereferensikan
dan nantinya berkoar-koar di panggung kontestan pemilhan DPR, DPD, Bupati,
Gubernur, dan atau Presiden, nah, ini yang tidak boleh, atau MAI mengutuk
hal-hal seperti itu, termasuk tidak boleh dipakai untuk pencitraan.
Penjelasan lebih lanjut bahwa di era orde baru atau era
reformasi negara Indonesia ini justru melahirkan dan semakin kokohnya kaum
penguasa politik dari berbagai partai politik praktis yang kini dililiti para
jendral militer Indonesia, dan mengklaim mendapatkan suara rakyat dari yang
namanya demokrasi konyol, padahal itu hanya seperti lift bagi kaum kapital global, nah, untuk Papua itu tidak bisa
mengikuti arus era reformasi itu karena, Papua sendiri hingga saat ini sebuah
wilayah yang terkoloni sehingga dampaknya banyak selain pelanggaran HAM, ada
juga bahasa ibu atau bahasa daerah yang teruncing punah sehingga Dumupa
Odiyaipai Foundation melakukan gerakan melestarikan melalui lomba ini.
Ketika ditanya awak media ini, apakah kehadiran Otonomi
Khusus ini belum cukup, ataukah tidak mampu, atau seperti apa penjelasan MAI.
Ini jawabannya.
“Sebuah wilayah disebut daerah Otonomi Khusus, apalagi
semakin banyaknya Daerah Otonom Baru, berarti yang semakin mekar apanya?
Sementara gejolaknya tidak kunjung padam atau belum terselesaikan? Artinya
bahwa ada narasi historis yang tidak pernah dibuka secara transparan, damai, demokratis,
dan meghadirkan pihak-pihak menengah untuk menyelesaikan gejolak di dalam
Otonomi Khusus itu,” tutur Sonny Dogopia.
Tambahnya, Otonomi Khusus itu diberikan untuk meredam isu
Papua Merdeka oleh penguasa negara Indonesia yang sedang menjajah bangsa lain
dalam hal ini West Papua, nah, kalau dilihat dari kajian jurnal melinda jangki
bahwa pada dasarnya West Papua versus Indonesia belum final di Pepera 1969, yah,
memang buktinya bahwa orang Papua kian hari semakin termajinal dan hak-hak yang
melekat pada orang Papua semakin terancam punah, seperti bahasa daerah itu, dan
lain-lain.
Tutupnya, dasar dari Otonomi Khusus saja seperti itu, belum
lagi materi Otonomi Khususnya tidak berasal dari hasil kesepakatan rakyat
sektoral yang tertindas akibat kolonial Indonesia yang sebagai pintu masuknya
kapitalisasi di Tanah Air, West Papua, bahwa meskipun kebanyakan dibahas itu
adalah hak-hak dasar orang Papua atau masyarakat adat Papua namun, pada
implementasinya kita bisa rasakan, malahan, kita seakan sebagai korban walaupun
sejalan dengan kehadiran Otonomi Khusus.
Redaksi telah mengirim pandangan dari Dumupa Odiyaipai
Foundation (DOF) terkait berita ini. Tetapi, hingga berita ini diturunkan belum
ada balasan.
Foto: Redaksi telah meminta pandangan ke DOF terkait berita ini |
Jika, DOF memberikan balasan dan menjawab beberapa pertanyaan dari redaksi maka media ini akan publish.