Pengantar Tulisan ini diawali dengan
sebuah pertanyaan, mengapa perlu wilayah adat sendiri bagi suku-suku di
perbatasan negara yang adalah sentral pulau Papua? Begitu banyak alasan
mendasar yang hendaknya menjadi konsumsi publik di Papua, Indonesia, dan dunia
internasional yang sedang berlomba-lomba di daerah ini hanya karena ada sumber
daya alam bawah tanah (bahan mineral) yang tertidur lama. Daerah yang
terlupakan atau disudutkan selama ini perlu dilihat sebagai garda terdepan
Papua di masa mendatang. Maka wajib di-manage secara baik oleh pemilik
tanah/pulau ini, dalam rangka mengantisipasi ancaman pengrusakan alam dan
manusia Papua yang semakin agresif.
Karena itu, bagi putra daerah yang baru mengenyam pendidikan, walau tidak banyak, sudah harus mulai bicara agak keras, demi menjaga entitas eksistensi manusia dan kekayaan alam yang Tuhan titipkan melalui leluhur. Pada kesempatan lain kita bisa mendapatkan legitimasi para pihak untuk memasuki pada berbagai dinamika sosial politik yang semakin meroket sekarang.
Hal ini menjadi tantangan khusus
yang mengganggu paradigma berpikir generasi muda sekarang dan masa mendatang.
Paradigma pembangunan yang sentralistis menjadi terdesentralisasi telah membuka
berbagai ruang dan kesempatan setiap individu, sehingga dapat berpartisipasi di
dalam pembangunan. Dalam konteks desentralisasi ini, setiap orang, baik secara
individu, maupun secara kelompok berpartisipasi aktif dalam pembangunan dengan
menghindari praktik-praktik, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme,
diskriminasi, dan praktik ketidakadilan dalam masyarakat. Perlu disadari bahwa
pemberian hak desentralisasi dipicu oleh beberapa praktik negatif tersebut
dalam pemerintahan, sehingga berdampak terhadap disparitas antarpembangunan
fisik dan nonfisik antarwilayah. Namun sadar atau tidak, implementasi
desentralisasi tidak meminimalisir praktik negatif seperti korupsi, kolusi,
nepotisme, tetapi justru bertumbuh subur. Yang lebih dahsyat lagi, bahwa
beberapa wilayah yang memiliki budaya kesukuan yang kuat dapat mengakui
identitas kesukuan tersebut, dan menjadi basis pergerakan sosial yang kuat.
Pengakuan terhadap kearifan lokal (identitas kesukuan) bukan berarti suatu langkah yang bertentangan dengan praktik birokrasi dan pembangunan modern. Justru pengakuan terhadap identitas budaya disetarakan dengan pengakuan terhadap eksistensi manusia yang berciri khas di era modern ini. Pendekatan budaya merupakan langkah yang tepat untuk mengembangkan masyarakat yang masih memilih, dan mempertahankan nilai-nilai budaya yang kuat dan universal sebagai ideologi dan pandangan hidup, karena dalam ideologi memiliki konsep sendiri tentang manusia itu sendiri, relasi sesama manusia, relasi manusia dengan alam, manusia dengan sistem politik, dan lain sebagainya. Nilai-nilai yang tercipta melalui relasi itu menjadi corak ideologinya. Provinsi Papua merupakan salah satu wilayah yang memperoleh status otonomi daerah. Dalam rentangan yang sama pula ia mendapatkan status otonomi khusus (otsus).
Pemberian status otsus ini sebagai sebuah tawaran kepada masyarakat Papua guna meredam pergerakan politik di daerah. Terlepas dari kepentingan politik, kebijakan otsus telah menciptakan ruang dan kesempatan yang luar biasa untuk mengeksplorasi diri, mengembangkan diri, dan mengembangkan potensi wilayahnya masing-masing, untuk mencapai suatu harapan, yakni meningkatkan kesejahteraan yang setara dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Dengan kata lain meningkatkan derajat dan martabatnya setara dengan suku bangsa lain. Salah satu fenomena sosial yang patut dihargai dan dikembangkan dalam bingkai otsus (adalah) mendorong terciptanya pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat di Papua dan Papua Barat. Pengakuan wilayah adat ini sangat penting, karena di wilayah Papua terdapat kurang lebih 257-260 suku. Setiap suku memiliki karakteristik dan budaya yang berbeda-beda dan ditempatkan pada letak geografis yang berbeda. Sistem kesukuan ini menjadi partner utama proses pemerataan pembangunan. Guna mempermudah dan mempercepat pembangunan dan pelayanan publik, Pemerintah Provinsi Papua (dan Papua Barat) berupaya melibatkan tokoh-tokoh adat dari 200-an suku yang tersebar di tujuh wilayah adat (Mamta, Saireri, Domberai, Bomberai, Meepago, Lapago, dan Anim Ha). Setiap wilayah adat ini memiliki sub suku yang memiliki karakter dan corak hidup yang berbeda antara satu suku dengan yang lainnya. Asal-usul setiap suku juga sangat beragam. Perbedaan-perbedaan aspek mendasar ini jika tidak diangkat dan diakomodasi secara bijaksana sebagai dasar pijakan pembagian dan penamaan wilayah adat, akan menimbulkan konflik di masa mendatang. Misalnya, kelompok suku yang besar (anggota sukunya banyak) bisa saja mendiskriminasi suku-suku yang anggotanya kecil dalam berbagai aspek pembangunan. Wilayah adat Lapago merupakan salah wilayah adat di wilayah Pegunungan Tengah sisi timur. Wilayah adat terdapat 10 kabupaten, yang pada umumnya daerah pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya. Penyatuan beberapa suku di dalam suatu nama wilayah adat Lapago hanya mempertimbangkan aspek kesamaan geografis-topologi dan pemekaran dari satu kabupaten induk, yakni Kabupaten Jayawijaya. Pengakuan nama wilayah ini tidak berlandaskan pada aspek-aspek budaya yang mendasar, seperti asal-usul keberadaan suku, sistem pendewasaan manusia, sistem kekerabatan, proses pemberian nama suku, sistem pembagian kemakmuran (relasi yang intim antara manusia dan alam). Beberapa aspek mendasar ini sangat menyatu dan menjadi unsur sangat menyatu dalam kehidupan (nadi kehidupan). Oleh karena itu, sangat perlu mempertimbangkan kembali aspek-aspek yang menjadi pijakan pembentukan wilayah-wilayah adat. Pemetaan kembali dan pengembalian wilayah adat pada aspek budaya sudah harus dilakukan sekarang. Jika tidak dilakukan akan menimbulkan dampak buruk, seperti potensi terciptanya konflik antar komunal di masa-masa yang akan datang. Salah satu contoh riil yang perlu dicermati bersama adalah bahwa DPRP jalur otsus dari wilayah adat Lapago yang dominan adalah suku-suku besar. Suku-suku besar ini merasa lebih kuat dan mendominasi (suku-suku lain), sehingga perwakilan suku-suku kecil tidak terakomodasi atau sudah terabaikan.
Sebagai akibatnya kepentingan dan kebutuhan suku-suku kecil ini tidak diakomodasi dengan baik. Sadar atau tidak, dalam kondisi ini sudah terjadi diskriminasi antarsesama, telah terjadi ketidakadilan antarsesama orang Papua sendiri. Fenomena ini sangat bertolak belakang dengan stereotipe orang Papua terhadap penduduk non pribumi yang dianggapnya pelaku diskriminasi.
Jika tidak diantisipasi dengan baik,
dapat saja tercipta pelaku-pelaku (tindakan) diskriminatif di antara orang
Papua sendiri hanya karena (demi) memenuhi kebutuhan atau kepentingan atau
privasi sesaat. Pegunungan Bintang misalnya. Berdasarkan aspek budaya,
suku-suku ini memiliki karakter dan budaya yang berbeda dengan suku-suku lain
di wilayah adat Lapago ini. Berdasarkan asal-usul dan sistem budayanya,
Pegunungan Bintang memiliki sistem religi sendiri, sistem pendidikan sendiri,
sistem pembagian kemakmuran sendiri, proses penyebaran manusia dan segala
isinya berbasis pada sistem kekerabatan. Sistem budaya yang tertata rapi ini
sudah diwariskan dari generasi ke generasi. Proses penyebaran sistem budaya
suku-suku di Pegunungan Bintang mulai menyebar ke arah timur wilayah negara
tetangga, PNG. Rumah adat terakhir ditempatkan di Telefomin, ke wilayah barat
penyebaran sampai di wilayah Mek/Ketengban.
Penyebaran sistem budaya mirip di beberapa wilayah ini selain berbasis sistem kekerabatan, juga berbasis pada sungai atau bahasa suku Ngalum disebut ok, sehingga beberapa penjelajah asal Eropa yang meneliti suku-suku wilayah ini menyebut Ok Famil, Mek Family, Min Family–suku-suku yang ada di 4 kabupaten di perbatasan negara. Dengan mempertimbangkan aspek budaya yang mendasar ini, keempat kabupaten ini sudah seharusnya membentuk wilayah adat sendiri. Dasar pijakannya adalah sistem budaya, dan karakteristik suku yang dimiliki. Pengakuan masyarakat adat ini sebagai langkah strategi untuk meningkatkan kemandirian komunitas adat (suku), guna meningkatkan kesejahteraan dengan memanfaatkan keunggulan lokal masing-masing. Alasan fundamental usulan Wilayah Adat Okmekmin sebagai wilayah kedelapan dalam struktur DAP (Dewan Adat Papua) Bagian ini dianggap amat penting bagi pembaca, khususnya orang asli Papua, pengurus Dewan Adat Papua, peneliti dan akademisi orang asli Papua, anggota MRP dan MRPB serta para pekerja indigenous peoples in the world and as well as west Papuan, sebab itu akan didahului dengan mengajukan sebuah pertanyaan mendasar: mengapa perlu wilayah adat sendiri bagi suku-suku di perbatasan negara yang adalah sentral pulau Papua?
Banyak alasan yang mendukung pertanyaan ini. Sudah tentu dilatarbelakangi oleh kajian antropologi budaya suku-suku setempat; sejarah pembangunan daerah selama 40-an tahun bersama Kabupaten Jayawijaya terhadap suku-suku di wilayah Kabupaten Pegunungan Bintang dan terhadap suku-suku di wilayah Kabupaten Yahukimo serta Kabupaten Merauke terhadap suku-suku di Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Jayapura terhadap suku-suku wilayah Kabupaten Keerom, dan demi masa depan anak cucu suku bangsa di wilayah perbatasan antarnegara. Berdasarkan penggalian dan pemahaman mitologi suku bangsa setempat sejak kehidupan awal tentang penciptaan pulau ini dan manusia Papua, bahwa mereka adalah satu keluarga besar yang berasal dari satu tempat yang sangat sakral (apyim apom/the Juliana top/the Elisabeth top/puncak Mandala/Pegunungan Bintang). Tempat ini dianggap menjadi pusat pergerakan suku bangsa di pulau Papua yang dikenal luas sekarang. Tempat sakral itu berada di wilayah Kabupaten Pegunungan Bintang. Semua bukti entitas empiris masih ada sampai sekarang. Dari tempat itulah semua manusia Papua bergerak ke bagian utara, selatan, barat dan timur PNG. Di wilayah PNG sudah membentuk 2 provinsi yaitu Sandaun Province beribu kota Vanimo dan Western Province beribukota Kiunga. Banyak bukti empiris lain seperti jenis dan tipe manusia di wilayah ini yang cukup unik dan banyak mewakili suku bangsa di pulau Papua.
Kenyataan ini mendorong para intelektual suku-suku setempat meneliti ulang berdasarkan penelitian lama oleh para peneliti Eropa dan lain-lain. Mitologi suku-suku setempat sudah ada bukti dan dibuktikan berdasarkan penyebaran marga/klen/keret sebagai entitas empiris yang ada sekarang dan tidak bisa dibantah, seperti sejumlah marga dan mitologi yang dimiliki suku-suku di Pegunungan Bintang sama dengan marga dan mitologi yang dimiliki suku bangsa lain di wilayah kabupaten tetangganya. Contoh marga Taplo/Tafor, Ibek/Ibe, Mallo, Watae dan lain-lain yang tersebar sampai di Kabupaten Keerom; marga Wayam/Walam/Wayap, Uropka/Oropka, Tarong, Yopeng dan lain-lain berada di Kabupaten Boven Digoel; marga mimin/mirin ada di Kabupaten Yahukimo. Begitu juga penyebutan hal tertentu seperti ok (air), anon (anjing), nong (tali), yop/jum (pisang) dan lain-lain bagi suku-suku di empat kabupaten tetangga dengan Pegunungan Bintang. Banyak kesamaan pola berfilsafat dan filosofi, antropologi dan psikologi manusia/suku bangsa di wilayah ini. Hal ini sangat jelas dalam penelitian antropolog Belanda (Healey,1964 and Voorhoeve, 2005) menyebutkan suku-suku di empat kabupaten sekarang adalah Ok family, Mek Family dan Min Family. Ok family termasuk suku Papua Ok yang selama ini disebut suku Ngalum, Katii/Muyu, Wambon dan suku Korowai. Sementara suku yang termasuk Mek Family adalah suku Mek/Ketengban, Suku Nam/Jefta, suku Aplik/Kimki, suku Una Ukam, Momuna, suku Kopkaka sampai dengan suku Yali. Dan Min family termasuk suku Atbalmin, Telefomin, Mianmin, Tifalmain, Oksapmin, Faiwolmin, Urapmin, Mianmin, dan suku Wopkaimin dan lain-lain yang sebagian besar termasuk wilayah PNG sekarang. Bersambung. (*)
* Penulis adalah peneliti sosial budaya dan masalah pendidikan Papua, asa suku Ok dan pekerja DAP, tinggal di Jayapura
Editor: Timotius Marten