Data empiris dan hasil penelitian yang ada telah mendukung para peneliti muda asal suku-suku ini merekonstruksi dan mereposisi entitas eksistensi dan otoritas wilayah suku mereka secara benar dan tepat. Suku-suku ini memiliki wilayah yang amat luas dengan kekayaan alam terbesar di pulau ini, diantaranya 4 sungai besar di pulau Papua yakni Sungai Mamberamo, Sungai Sepik, Sungai Digul dan Oktakin/Fly River, yang semuanya keluar dari bawah Puncak Mandala Pegunungan Bintang. Selain itu terdapat kandungan emas, perak, tembaga, uranium dan minyak yang akan dikelola dan tiada bandingannya dengan yang ada di Timika dan Bintuni.
Berhubungan dengan penelitian yang
dilakukan putra/i terbaik suku-suku setempat sudah jelas bahwa terdapat banyak
ketidaksesuaian pada berbagai hal yang dimiliki suku bangsa di wilayah ini
maupun Papua umumnya. Salah satunya adalah pembagian 7 wilayah adat Papua, yang
menurut hemat penulis perlu dilakukan pemetaan ulang berdasarkan karakteristik
suku bangsa secara kritis dan objektif, sesuai kelekatan unsur-unsur budaya dan
komprehensif. Kita mesti membaca dengan teliti hasil-hasil penelitian peneliti
Eropa dengan baik terlebih dahulu, lalu bisa mengelompokkan suku-suku di Papua.
Jangan ikut-ikutan tanpa punya kompas.
Tidak hanya terbatas pada pemetaan
wilayah adat berdasarkan karakteristik suku bangsa, tetapi juga usulan
perbaikan terhadap perubahan, pertukaran, pemberian nama daerah dan gunung oleh
pihak tertentu dikembalikan pada ranahnya. Sebab sudah sangat jelas sejak awal
adanya manusia Papua sudah terbentuk suku besar dan berkembang menjadi sub-sub
suku yang cerita adatnya dan mitologinya satu tetapi beda dalam bahasa daerah.
Bagian ini yang belum dilakukan penelitian secara mendalam dan teliti, sehingga
dikaburkan oleh situasi kekinian. Contoh selama ini sudah terjadi penggabungan
wilayah adat suku yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan mitologi suku-suku
yang nampak dari karakteristiknya.
Cara pengelompokan suku bangsa di Papua sudah sangat jelas (menggambarkan) banyak suku minoritas yang dieliminasi dan ditekan oleh kepentingan suku tertentu melalui politik pembangunan Indonesia di Papua. Permainan kotor, praktik diskriminasi semakin lihai di zaman sekarang dan ini penting dikritisi dan diluruskan. Apabila kita benar-benar manusia beradap, maka semua hal itu (seharusnya) memakai etika adat yang diturunkan leluhur supaya tujuan pribadi maupun kelompok bisa dicapai dengan baik dan bermanfaat bagi kepentingan komunal orang Papua. Berdasarkan pemetaan wilayah adat Papua selama ini dan praktik apa saja sudah didominasi oleh suku tertentu yang merasa besar, hebat, lebih terhormat, banyak yang berpendidikan tinggi dan sebagainya. Kondisi ini sangat penting dievaluasi dan buat satu resolusi konkret demi kebaikan bersama di tanah ini. Sebagai orang ber-adat (kita) mesti punya hati nurani untuk menghargai suku lain sekalipun jumlahnya sedikit. Penting diberikan kepercayaan dalam semua dimensi kehidupan dan dalam konteks apapun itu. Primordialisme kesukuan yang ekstrim dan merasa hebat, kuat dan jumlahnya banyak sudah harus dihilangkan, dan semua suku bangsa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dalam konteks apapun, agar keadilan dan kebersamaan sebagai orang Papua tetap terjaga. Oleh sebab itu, penulis mendorong Dewan Adat Papua untuk meninjau kembali pemetaan otoritas wilayah adat Lapago berdasarkan karakteristik manusia dari suku bangsa yang ada, yang kemudian mengakui Wilayah Adat Papua Okmekmin sebagai wilayah ke-8 yang terdapat di jantung pulau Papua. Untuk itu, sudah dipetakan secara detail latar belakang agar wilayah ini dipisahkan dari Wilayah Adat Lapago. Wilayah Adat Okmekmin ini terdapat 25 suku yang memiliki mitologi yang sama dan mirip (satu sama lain).
Menata diri dari dalam rumah sendiri lebih baik, lebih terarah daripada menggabungkan diri ke dalam rumah adat suku lain dan menjadi kerdil di dalamnya. Sejarah telah mencatat dengan detail bahwa selama 40-an tahun bersama Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Merauke dan Kabupaten Jayapura memiliki banyak catatan kelam pembangunan sumber daya manusia bagi suku bangsa yang ada di daerah-daerah perbatasan ini, secara khusus orang Pegunungan Bintang dan Yahukimo tidak ada satu orang pun yang bekerja sebagai PNS di Wamena, Jayawijaya. Semua kesempatan hanya bisa dinikmati oleh saudara-saudara kami yang ada di sana. Entah sengaja atau tidak, sadar atau tidak, itu yang dialami oleh orang Yahukimo dan Pegunungan Bintang. Hal ini sangat terbukti sekarang, dalam berbagai kesempatan orang-orang dari wilayah ini sangat jarang diakomodir di tingkat provinsi maupun tingkat pusat. Beberapa tokoh intelektual yang muncul sebagai pemimpin di daerahnya adalah kader gereja, baik Katolik maupun Protestan dan bukan hasil penyerapan anggaran pembangunan sumber daya manusia dari Kabupaten Jayawijaya ketika itu. Justru setelah ada kabupaten sendiri barulah mulai muncul secara perlahan. Bila dikaitkan dengan Wilayah Adat Lapago, maka kondisinya sama. Hal ini sangat terbukti adanya pemilihan anggota DPRP 14 kursi otsus yang dipilih berdasarkan Wilayah Adat Lapago tidak ada satu pun orang dari Yahukimo dan Pegunungan Bintang ditetapkan sebagai anggota DPRP, semuanya dari suku yang merasa diri hebat, besar dan banyak jumlahnya selama ini. Apakah ini sengaja dibuat atau tidak tetapi para pemimpin teras Provinsi Papua terus pelihara sifat Kolusi, Korupsi dan Nepotisme serta praktik diskriminasi bagi orang asli Papua sendiri.
Penutup Pemikiran ini disampaikan atas dasar kenyataan hidup suku-suku yang selama ini diabaikan dalam konteks kepemimpinan dalam pembangunan Papua selama puluhan tahun. Penulis sudah mencatat dengan baik, bahwa hal ini sengaja dibuat oleh suku tertentu yang merasa diri besar, hebat, sudah memiliki segalanya dan terus mematikan potensi suku bangsa lain yang secara jumlah sedikit. Entah dengan sadar atau tidak itulah kenyataan yang ada sampai sekarang. Praktiknya mulai dari implementasi program pembangunan selama 40-an tahun.
Terutama tidak pernah memberikan
kesempatan kepada putra-putri terbaik dari wilayah ini untuk mengenyam
pendidikan seperti suku-suku lain dari wilayah kabupaten itu, maupun suku
bangsa Papua yang kini sudah banyak yang maju di semua sektor pembangunan.
Setelah itu masuk pada babak berikut adalah melalui proses musyawarah besar
Masyarakat Adat Papua yang telah memetakan wilayah adat Papua tidak sesuai dengan
karakteristik suku dan kepemilikannya. Justru dilakukan berpatokan pada wilayah
kabupaten induk yang dibentuk masa pemerintahan rezim Presiden Soeharto.
Karena itu, boleh disebut bahwa pemetaan wilayah adat Papua ketika tidak beres. Ketidakberesan itu diindikasi dalam penggabungan suku-suku yang sebenarnya tidak ada hubungan mitologi sama sekali dan juga aspek lainnya. Hal ini pun dilakukan berdasarkan pengkondisian salah yang dibuat oleh peneliti Eropa dan Amerika di Papua, yang justru di dalamnya terjadi benturan nilai-nilai budaya di antara suku-suku yang digabungkan. Oleh sebab itu, dari kesalahan-kesalahan yang dibuat orang-orang terdahulu perlu diluruskan oleh anak-anak negeri sendiri. Generasi muda Papua sekarang tidak bisa berada pada fondasi yang keliru dan tidak membangun gap-gap di antara orang-orang yang hidup di dalamnya. Bangunlah konstruksi berpikir yang terbuka dan netral. Praktik hidup kita sampai sekarang tanpa kita sadari sudah melakukan diskriminasi sangat luar biasa di antara tingkatan suku. Merasa diri pembesar-pembesar hebat, tetapi Anda sebenarnya sedang menginjak saudaramu orang hitam ini sampai tidak ada napas dari semua aspek kehidupan. Satu fenomena yang menurut saya akan berbahaya yang ada di depan mata sekarang adalah aspek perpolitikan merebut kursi DPR, gubernur, bupati dan perangkatnya justru mempertebal primordialisme kesukuan yang sangat diskriminatif pada semua lini kehidupan. Keadaan ini tanpa kita sadari sudah menjadi akar perpecahan di antara suku bangsa di Papua yang sedang menuju kepunahan. Maka kita semua yang merasa diri intelektual janganlah menginjak intelektualitas kita dengan perilaku yang tidak bermoral/beretika, tetapi melihat manusia Papua di dalam suku-suku itu dilihat secara utuh.
Artinya, sebagai satu komunitas harus dipastikan bahwa semua anggota ada dalam kondisi yang aman karena semua bisa bekerja. Sebab itu Dewan Adat Papua perlu memetakan ulang suku bangsa Papua yang selama ini dimasukkan dalam 7 wilayah Adat Papua. Seperti halnya terjadi pada suku bangsa yang mendiami empat kabupaten di wilayah perbatasan negara, PNG. Pakaian tradisional (koteka dan cawat) tidak bisa dijadikan satu-satunya alasan memasukkan suku bangsa di Pegunungan Papua secara merata, sebab sejarah adanya koteka/cawat dan bagaimana menggunakannya sudah berbeda. (Kita) Harus tahu mitologi penyebaran suku bangsa di wilayah itu dengan benar, karena salah satu cara yang tepat untuk memastikan satu kesatuan suku-suku adalah melalui kajian mitologi. Untuk pengusulan wilayah Adat Papua Okmekmin, secara internal sudah ada rencana untuk menyelenggarakan Kongres Internasional Dewan Adat Suku dan mengeluarkan resolusi bersama oleh Persekutuan 49 Ap Iwoo/Iwol dan Youwa sebagai pemilik otoritas wilayah adat. Dalam kongres ini Dewan Adat Papua turut diundang untuk menyaksikan dan membawa hasil kongres ke forum tertinggi Dewan Adat Papua untuk disahkan secara resmi dalam struktur Pemerintahan Adat Papua. Selesai. (*)
* Penulis adalah peneliti sosial budaya dan masalah pendidikan Papua, asa suku Ok dan pekerja DAP, tinggal di Jayapura
Editor: Timotius Marten
Artikel ini telah tayang di jubi.co.id -LINK Sumber- https://jubi.co.id/papua-perlu-menjadi-8-wilayah-adat-2-2/
Artikel ini telah tayang di jubi.co.id -LINK Sumber- https://jubi.co.id/papua-perlu-menjadi-8-wilayah-adat-2-2/